banner ptaa

 

Ditulis oleh Admin Kesekretariatan 1 on . Dilihat: 19928

(TRILOGI BAGIAN PERTAMA)
SAKSI NIKAH DALAM PANDANGAN FUQAHA DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Oleh: Dr. Drs. H. Moh. Faishol Hasanuddin, S.H., M.H.
Hakim Tinggi pada PTA Samarinda

Pengantar

Secara yuridis materiil, telah disepakati oeh para ulama bahwa pernikahan dipandang sah jika dilaksanakan dengan akad (transaksi), yang meliputi ijab dan kabul antara calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan, atau antara kedua pihak yang menggantikannya. Dan dipandang tidak sah jika hanya didasarkan atas perasaan suka sama suka, tanpa adanya akad.[1] Ini artinya, rukun nikah yang disepakati oleh seluruh mazhab Islam adalah akad (ijab dan kabul). Sedang rukun-rukun nikah yang lain, termasuk wali dan saksi, masih diperselisihkan eksistensinya oleh sebagian mazhab.

Perlu diingat bahwa dalam ranah hukum formil hakim tidak diberikan keleluasaan dalam menafsirkan hukum acara. Namun dalam ranah hukum materiil hakim diberikan keleluasaan dalam menafsirkannya, dan juga dalam berijtihad sehingga putusan hakim benar-benar menjadi perwujudan dari nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

A.Saksi dalam Pandangan Fuqaha

Hanafi, Syafi’i, dan Ahmad mempunyai pandangan yang sama bahwa perkawinan tidak sah tanpa adanya saksi. Dalam arti, ijab dan kabul harus disaksikan oleh dua orang saksi. Malik berbeda pendapat dengan ketiga ulama tersebut. Ijab dan kabul tidak harus dihadiri saksi. Ijab dan kabul tanpa saksi adalah sah. Namun, jika mempelai itu hendak melakukan jima’ maka mereka berdua harus memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka berdua sudah menikah.[2]

Sedangkan Imamiyah berpendapat bahwa kesaksian dalam perkawinan hukumnya adalah mustahab, dianjurkan, dan bukan merupakan kewajiban.[3]

Menurut riwayat lain dari Ahmad, bahwa nikah adalah sah tanpa saksi-saksi. Banyak sahabat dan tabi’in yang menikah tanpa saksi. Mereka antara lain adalah Abdullah bin Umar bin Khattab, Hasan bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair bin Awwam, Salim bin Abdullah bin Umar, Hamzah bin Abdullah bin Umar. Pendapat ini didukung pula oleh para fuqaha, antara: Abdullah bin Idris, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, al-Anbariy, Abu Tsaur, Ibnu Mundzir, dan al-Zuhri.[4]

Mereka yang tidak mensyaratkan saksi sebagai dasar keabsahan nikah mendasarkan pendapatnya pada argumen bahwa: tidak ada satu nas pun yang menetapkan ketentuan kesaksian dalam nikah. Karena itu berlakulah kaidah: al-aşlu fī al-taklīfi barā’atu al-żimmah (pada asalnya dalam hal pembebanan taklif itu adalah terbebas dari beban tanggungan).

Para ulama yang mengharuskan adanya saksi dalam akad nikah berpegang pada hadis berikut:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِىٍّ وَشَاهِدَىْ عَدْلٍ [5]

Artinya:

“Tiada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”

Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda:

لاَ بُدَّ فِى النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ الْوَلِىِّ وَالزَّوْجِ وَالشَّاهِدَيْنِ [6]

Artinya:

“Haruslah ada di dalam nikah itu empat hal: wali, suami, dan dua orang saksi.”

Riwayat lain menyatakan:

الْبَغَايَا اللَّاتِي يُنْكِحْنَ أَنْفُسَهُنَّ بِغَيْرِ بَيِّنَةٍ [7]

Artinya:

“Adalah pezina para wanita yang menikahkan dirinya sendiri dengan tanpa saksi.”

Dalam al-Quran ketentuan mengenai kesaksian dikaitkan dengan perceraian, bukan dihubungakan dengan pernikahan. Allah SWT berfirman dalam QS al-Thalaq (65): 2:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّه

Terjemahnya:

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau ceraikanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah[8] (perceraian itu) dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.[9]

Mazhab inilah yang dianut dalam sistem peradilan di Indonesia. Dalam hukum positif di Indonesia, perceraian hanya dibenarkan bila dilakukan di depan sidang pengadilan dengan disaksikan para hakim dan panitera. Mazhab ini dianut oleh Imamiyah dalam fiqih mereka.[10]

‘Illat hukum dari perlunya kesaksian dalam perceraian adalah adanya unsur sesuatu yang dibenci oleh Allah, meskipun halal. Karena itu, dengan ditetapkannya kesaksian dalam perceraian maka prosedur ini berdampak pada tidak terlalu mempermudah pintu perceraian yang memang tidak disukai oleh Allah, mengingat mudarat yang diakibatkannya. Karena itu pula, saksi berfungsi sebagai kontrol sosial dan kontrol institusional dalam mengerem laju pergerakan problem sosial itu, serta untuk menjamin dipatuhinya hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Ibnu Mundzir mengatakan:

لا يثبت فى الشاهدين فى النكاح خبر[11]

(Tidak ada satu hadis sahih pun yang berkaitan dengan kesaksian dalam nikah yang dapat dipegangi).

Terhadap hadis pertama yang dikutip di atas, Ibnu ‘Abdil Barr mengatakan: “Telah diriwayatkan dari Nabi: lā nikāha illā bi waliy wa syāhidayni ‘adlayni, melalui Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Umar, hanya saja dalam penukilan riwayatnya terdapat kelemahan (dla’īfan). Karena itu, aku tidak memperhitungkannya sebagai dasar penalaran ijtihadi.”[12]

Sementara, hadis kedua dan ketiga yang dikutip di atas bukanlah hadis marfū’. Hanya ada satu orang saja yang menganggapnya demikian, yaitu Abdul A’la.[13]

Yazid bin Harun juga menilai cacat hadis yang berbunyi lā nikāha illā bi waliyyin mursyidin wa syāhiday ‘adlin. Ia mengomentari hadis itu dengan mengatakan: rawāhu al-khilalu bi isnādihi (hadis itu diriwayatkan oleh orang-orang yang cacat [dalam pandangan ilmu hadis] dengan isnadnya.

Selanjutnya, Yazid bin Harun juga mengkritisi orang-orang yang berpendapat mengenai adanya syarat sah nikah dengan dua orang saksi dengan mengatakan:

أمر الله تعالى بالإشهاد فى البيع دون النكاح فاشترط أصحاب الرأي الشهادة للنكاح ولم يشترطوها للبيع [14]

(Allah memerintahkan kesaksian dalam jual beli, bukan dalam nikah. Namun, penganut Ahli Ra’yu justeru (sebaliknya) mensyaratkan kesaksian dalam nikah dan tidak mensyaratkannya dalam jual beli).

B.Saksi dalam Hukum Positif Indonesia

Dalam pandangan hukum positif, sesungguhnya bagaimanakah kedudukan saksi dalam kaitannya dengan pembatalan nikah. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dikemukakan bahwa ada dua kriteria yang dikemukakan oleh Kompilasi Hukum Islam dalam kategorisasi pembatalan nikah. Pertama, pernikahan batal demi hukum, dan kedua, pernikahan yang dapat dibatalkan. Pernikahan batal demi hukum dimaksudkan sebagai pernikahan yang tanpa diajukan pembatalannya ke Pengadilan, maka dengan sendirinya ia telah batal, tetapi pengumuman kebatalannya perlu campur tangan pengadilan selaku institusi hukum, melalui putusan yang bersifat deklaratif. Sementara, pengertian pernikahan dapat dibatalkan adalah sepanjang sebuah penikahan tidak diajukan pembatalannya ke Pengadilan maka pernikahan tersebut tetap eksis dan terus berlangsung dan berkelanjutan.

Yang masuk dalam kategori nikah batal demi hukum(Pasal 70 KHI) adalah: a. Suami melakukan perkawinan sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu ada dalam iddah talak raj’i; b. seseorang yang menikahi bekas istrinya yang telah dili’annya; c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yamg kemudian bercerai lagi ba’da dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan atau susuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.[15]

Yang masuk dalam kategori perkawinan dapat dibatalkan (Pasal 71 KHI) adalah apabila: a. seorang melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama; b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang masih mafqūd; c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dari suami lain; d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaiman ditetapkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.[16]

Bila dicermati perbedaan antara keduanya maka tampak jelas perkawinan yang dinyatakan batal demi hukum adalah disebabkan oleh alasan-alasan yang sangat prinsipal, seperti antara calon suami dan calon istri yang mempunyai hubungan darah baik dalam garis lurus ke atas atau ke bawah, atau menyamping, atau berhubungan semenda ataupun susuan. Sementara, perkawinan dalam kategori dapat dibatalkan adalah disebabkan pada alasan-alasan yang lebih ringan, seperti poligami tanpa ijin pengadilan, atau perkawinan yang melanggar batas uisa perkawinan. Dalam kategori inilah diklasifikasikan perkawinan yang dilangsungkan dengan tanpa wali atau yang dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. Artinya, nikah tanpa wali itu dalam pandangan Kompilasi Hukum Islam adalah sekelas peringkatnya dengan nikah di bawah umur, artinya, dipandang sebagai bukan subtansi yang prinsip.

Adapun mengenai status hukum saksi dalam hukum positif kita, dapat dibaca dalam pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang antara lain menyatakan: perkawinan yang dilangsungkan di muka Pegawai Pencatat Nikah yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, dikategorikan dalam perkawinan yang dapat dimintakan pembatalannya.[17] Ini artinya, ketentuan Undang-Undang ini sejalan dengan ketentuan Kompilasi Hukum Islam. Lebih-lebih lagi, penjelasan Pasal 22 Undang-Undang tersebut memberi batasan terhadap predikat "dapat dibatalkan" dengan: "bisa batal bisa tidak batal, bilamana ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain." Artinya, kembali kepada Pasal 70 dan Pasal 71 KHI.[18]

Dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai nikah tanpa wali atau dengan wali yang tidak berhak dan nikah tanpa dihadiri saksi atau tanpa disaksikan oleh saksi, maka nikahnya itu diberi bobot pada level dapat dibatalkan. Bukan batal demi hukum. Artinya, jika pernikahannya itu tidak dimohonkan pembatalannya ke pengadilan maka pernikahannya itu tetap ada, tetap eksis, dan akad nikahnya tetap berlaku, tidak batal, dalam kedua ketentuan hukum positif di atas.

Demikian, semoga bermanfaat.

Samarinda, 27 Oktober 2023

 


[1] Muhamad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Khamsah, yang diterjemahkan oleh Afif Amrullah, dengan judul Fiqh Lima Mazhab (Cet. I; Jakarta: Basrie Press, 1414 H/1994 M.), h. 13. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah; Wahbah al-Zuhailiy dalam al-Fiqh al-Islāmiy wa Adillatuhu; dan Abdurrahman al-Jaziriy dalam al-Fiqh 'alā al-Mażāhib al-Arba'ah.

[2] Abdurrahman al-Jaziiriy, al-Fiqh ‘alā al-Mażāhib al-Arba’ah, juz IV (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1420 H./1999 M.), h. 28. Lihat pula Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh, op cit, h. 296-297.

[3] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh, op. cit, h. 297.

[4] Abu Muhammad Abdullah bin Ahnmad bin Qudamah, Al-Mughniy, cet. I juz VII (Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H./ 1984 M.), h. 339.

[5] Ali bin Umar al-Daruquthni, Sunan, op cit. h. 158.

[6] Ibid, h. 157.

[7] Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-Turmużi, Sunan juz 3 (Beirut: Dar-al-Fikr, tt), h. 284.

[8] Dasar hukum ayat inilah yang menjadi alasan mengapa perceraian di Indonesia dan di negara-negara Islam lainnya harus dilakukan di Pengadilan, di hadapan persidangan dan di saksikan oleh majelis hakim.

[9] Departemen Agama RI, Al-Quran, op cit., h. 945.

[10] Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh, op cit, h.

[11] Ibnu Qudamah, al-Mughniy, op cit, h. 339.

[12] Ibid.

[13] Al-Syaukani, Nayl al-Awthār juz VI, h. 125.

[14] Ibnu Qudamah,al-Mughniy, op. cit, h. 340.

[15] Ibid.

[16] Ibid, Pasal 71.

[17] Departemen Agama, Himpunan, op cit, h. 106.

[18] Ibid, h. 123.

Hubungi Kami

Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

Jl. MT. Haryono No. 24 Samarinda

Prov. Kalimantan Timur

Telp: 0541-733337
Fax: 0541-746702

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

 

icons8 facebook old 48icons8 instagram 48icons8 youtube squared 48icons8 address 48icons8 whatsapp 48icons8 twitter 48