“KEKUATAN PEMBUKTIAN
LAYANAN PESAN SINGKAT/SMS, CHATTING DAN HASIL CETAK FOTO DALAM PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA”

Oleh: Drs. H. Arpani, S.H., M.H.
(Hakim Tinggi PTA.Samarinda)
A.Pendahuluan
Perkembangan teknologi telah membawa berbagai dampak dalam kehidupan sosial, ekonomi dan kehidupan bermasyarakat. Hampir setiap aktivitas kehidupan menggunakan teknologi yang berbasis komputer atau digital dan teknologi terus berkembang mengikuti kebutuhan manusia di tengah perubahan sosial.
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif dimana membawahi 4 (empat) peradilan sebagai tugas pokoknya adalah melayani masyarakat para pencari keadilan harus mampu mengikuti perkembangan zaman di tengah kemajuan teknologi. Kehidupan manusia pada masa perkembangan teknologi informasi yang serba mobile sehingga mempengaruhi proses pemeriksaan perkara di Pengadilan. Salah satu proses pemeriksaan perkara yang terpengaruh dengan perkembangan teknologi informasi adalah proses pembuktian. Pembuktian merupakan tahapan terpenting dalam proses penyelesaian sengketa perdata di pengadilan karena bertujuan untuk membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum yang dijadikan dasar mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dalam hal membuktikan adanya suatu peristiwa-peristiwa tertentu dianggap benar. Apabila kebenaran itu diwujudkan dalam bentuk hukum formil (formeel waarheid), namun hakim tidak dilarang mencari kebenaran hukum materiil, asal kebenaran itu ditegakkan di atas landasan alat bukti yang sah dan memenuhi syarat. Kalaupun hakim yakin, tetapi keyakinan itu tidak ditegakkan di atas landasan alat bukti yang sah, tidak dibenarkan oleh hukum. Sebaliknya, walaupun hakim tidak yakin, asal pihak berperkara dapat membuktikan berdasarkan alat bukti yang sah, hakim harus menerimanya sebagai suatu kebenaran.
Alat bukti yang sah yang diakui oleh peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Namun, dengan perkembangan teknologi seperti saat ini telah terjadi perubahan dimana para pihak berperkara membuktikan dengan alat bukti berupa layanan pesan singkat (short message system/SMS), hasil cetak foto dan chatting (percakapan) dan lain sebagainya. Dimana bukti tersebut belum diatur secara khusus dalam HIR, RBg dan KUH Perdata. Berdasarkan permasalah tersebut di atas.
B.Pembuktian berupa Layanan Pesan Singkat/SMS, Hasil Cetak Foto dan Chatting Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata.
1.Eksistensi Layanan Pesan Singkat/SMS, Hasil Cetak Foto dan Chatting Sebagai Alat Bukti.
Bahwa untuk menyakinkan akan kebenaran dalil gugatan guna mendukung tuntutan atau menolak suatu dalil atau tuntutan, Penggugat atau Tergugat dibebani pembuktian dan harus membuktikannya dengan alat bukti. Alat bukti sendiri telah ditentukan secara limitatif, tidak boleh ditambah atau dikurangi baik oleh Hakim ataupun pihak-pihak yang berperkara. Alat bukti dimaksud sebagaimana diatur dalam Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata yaitu bukti surat, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah[1]. Namun, dengan seiring perkembangan teknologi dan informasi, maka dikenal adanya bukti-bukti elektronik.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (selanjutnya disebut UU ITE), eksistensi alat bukti elektronik sebenarnya telah tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Kemudian dengan terbitnya UU ITE tersebut maka eksistensi alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah semakin diperkuat[2].
Eksistensi alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE sebagai berikut:
Pasal 5:
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
Surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
Surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Pasal 6:
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
Dari ketentuan Pasal 5 dan Pasal 6 UU ITE tersebut diatas dapat dipahami bahwa alat bukti elektronik terdiri dari 3 macam yaitu; informasi elektronik[3], dokumen elektronik[4] dan hasil cetakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Ketentuan tersebut juga sebagai dasar bahwa eksistensi hasil cetak foto, layanan pesan singkat, percakapan dari aplikasi whatsapp, facebook dan lain sebagainya adalah sah sebagai bukti elektonik dalam bentuk hasil cetakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.
2.Kekuatan Pembuktian Layanan Pesan Singkat/SMS, Hasil Cetak Foto dan Chatting dalam Pemeriksaan Pekara Perdata.
Masing-masing alat bukti dalam perkara perdata mempunyai kekuatan pembuktian tersendiri sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan yang bertugas menilai kekuatan masing-masing alat bukti adalah Hakim. Kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti menurut M. Natsir Asnawi terbagi dalam 6 (enam) bentuk, yaitu; kekuatan bukti permulaan (begin bewijskracht), kekuatan pembuktian bebas (vrij bewijskracht), kekuatan pembuktian sempurna (volledig bewijskracht), kekuatan pembuktian mengikat (bindende bewijskracht), kekuatan pembuktian menentukan (besslissende bewijskracht) dan kekuatan pembuktian memaksa (dwingen bewijskracht)[5].
Selanjutnya dalam UU ITE ternyata tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian bukti elektronik. UU ITE hanya mengatur tentang syarat formil dan materiil bukti elektronik sebagai berikut[6]:
Syarat formil bukti elektronik diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang-undangan harus dibuat dalam bentuk tertulis.
Syarat materiil bukti elektronik diatur dalam Pasal 6, Pasal 15 dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut harus dijamin keautentikannya, keutuhannya dan ketersediannya serta ada hubungan yang relevan dengan perkara yang sedang disidangkan. Untuk memastikan integritas bukti elektronik terjaga diperlukan serangkaian digital forensik[7]. Hal itu disebabkan sifat bukti elektronik yang rendah dan mudah dimodifikasi atau dirubah.
Lalu apabila UU ITE hanya mengatur tentang syarat formil dan materiil bukti elektonik bagaimana dengan kekuatan bukti elektronik? Dalam hal ini penulis sependapat dengan pendapat Amran Suadi yang menyimpulkan bahwa bukti elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang bebas artinya diserahkan sepenuhnya pada hakim yang mengadili suatu perkara[8]. Pendapat tersebut penulis pahami berlaku untuk bukti elektronik yang telah memenuhi syarat formil dan materiil bukti elektronik. Namun permasalahan yang ada adalah dalam praktik beracara, banyak pihak mengajukan bukti elektonik berupa hasil cetak foto, layanan pesan singkat/SMS, percakapan dari aplikasi whatsapp, facebook, dan lain sebagainya akan tetapi tidak dilengkapi dengan digital forensik.
Dalam menyikapi bukti hasil cetak dari dokumen eletronik dan/informasi elektronik yang tidak dilengkapi dengan digital forensik setidaknya ada 2 (dua) padangan dikalangan para hakim dalam menyikapinya. Pertama, Hakim mengesampingkan bukti elektronik tersebut karena dengan tidak dilakukan digital forensik maka dianggap tidak memenuhi syarat materiil bukti elektronik sebagaimana Putusan Nomor 7/Pdt.G/2022/PA.Plh. Kedua, Hakim menerima bukti elektonik tersebut dan menjadikannya sebagai bukti permulaan, sehingga untuk membuktikan isi dari hasil cetak tersebut perlu ditambah dengan alat bukti lainnya sebagaimana Putusan Nomor 675/Pdt.G/2020/PA.Pkb. Perbedaan pandangan dikalangan para Hakim tersebut disebabkan karena belum adanya aturan yang secara tegas mengatur tentang hal tersebut.
Tentang permasalahan tersebut di atas sebenarnya pernah dibahas dalam Rapat Koordinasi Tahun 2019 di Jakarta hanya saja kesimpulan dalam rapat tersebut tidak disusun dalam bentuk Surat Edaran Mahkamah Agung. Dalam rapat koordinasi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa alat bukti elektronik seperti screenshot (tangkapan layar), foto-foto, dan chatting (percakapan) dari aplikasi whatsapp, facebook atau media sosial lainnya hanya merupakan bukti permulaan. Jika diperlukan, para pihak dapat menghadirkan saksi ahli untuk menguji keautentikan bukti elektronik atas berkenan majelis hakim[9]. Menurut pendapat penulis, memang yang lebih tepat dalam menyikapi bukti hasil cetak dari dokumen elektronik dan/informasi elektronik yang tidak dilengkapi dengan digital forensik adalah dikonstruksi menjadi bukti permulaan dan untuk membuktikan isi dari hasil cetak tersebut perlu ditambah dengan alat bukti lainnya.
C.Penutup
1.Kesimpulan
Kekuatan pembuktian berupa layanan pesan singkat/SMS, hasil cetak foto dan chatting (percakapan) dari aplikasi whatsapp, facebook, dan lain sebagainya secara yuridis-normatif telah diakui sebagai bukti elektronik dalam bentuk hasil cetakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Pembuktian secara elektronik berupa layanan pesan singkat/SMS, hasil cetak foto dan chatting (percakapan) dari aplikasi whatsapp, facebook, dan lain sebagainya yang telah dilakukan digital forensik memiliki kekuatan pembuktian yang bebas akan tetapi apabila tidak dilakukan digital forensik hanya merupakan bukti permulaan sehingga untuk membuktikan isi dari hasil cetak tersebut perlu ditambah dengan alat bukti lainnya.
2.Saran
Perlu adanya peraturan khusus tentang alat bukti elektronik secara komprehensif sebagai acuan bagi hakim dalam mempertimbangkan alat bukti dipersidangan.
Perlu adanya pendidikan atau pelatihan atau bimbingan teknis dengan tema bukti elektronik yang diselengarakan oleh Mahkamah Agung/Badilag/PTA untuk meningkatkan kemampuan hakim dalam pemeriksaan bukti elektronik.
Daftar Pustaka
Asnawi, M. Natsir, Hukum Pembuktian Perkara perdata di Indonesia: Kajian Kontekstual mengenai Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian, Yogyakarta: UII Press, 2013.
Elmi AS Pelu, Ibnu dan Abdul Halim, Konsep Kesaksian Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama Islam, Malang: Setara Press,2015.
Sodikin dan Ali Zia Husnul Labib, Kumpulan Rumusan Hukum Kamar Agama: SEMA, Diskusi Pokja, dan Keputusan Rakernas (Pedoman Pelaksanaan Tugas Peradilan Agama).
Suadi, Amran, Hukum Acara Perdata dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Manual dan Elektronik, Jakarta: Kencana, 2023.
Suadi, Amran, Pembaharuan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan Secara Elektronik Edisi Kedua, Jakarta: Kencana, 2019.
Syukur, Sarmin, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia Cetakan Pertama, Jakarta: Jaudar Press, 2017.
[1] Sarmin Syukur, Hukum Acara Peradilan Agama di Indonesia Cetakan Pertama, (Jakarta: Jaudar Press, 2017), hlm. 419.
[2] Amran Suadi, Hukum Acara Perdata Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Manual dan Elektronik, hlm. 191.
[3] Pasal 1 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[4] Pasal 1 ayat (4) UU ITE menyatakan bahwa dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
[5] M. Natsir Asnawi, Hukum Pembuktian Perkara perdata di Indonesia:Kajian Kontekstual mengenai Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian, (Yogyakarta: UII Press, 2013) hlm. 42.
[6] Amran Suadi, Hukum Acara Perdata Dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Secara Manual dan Elektronik, hlm. 196.
[7] Digital forensik adalah keseluruhan proses dalam mengambil, memulihkan, menyimpan, memeriksa informasi atau dokumen elektronik yang terdapat dalam sistem elektronik berdasarkan cara dan dengan alat yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah untuk kepentingan pembuktian (Amran Suadi, Pembaharuan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan Secara Elektronik Edisi Kedua, hlm. 114).
[8] Amran Suadi, Pembaharuan Hukum Acara Perdata di Indonesia Menakar Beracara di Pengadilan Secara Elektronik Edisi Kedua, hlm. 108.
