Perlindungan Terhadap Hak Anak Pasca Perceraian Menurut
Hukum Islam dan Perundang-undangan Di Indonesia
OLEH :
(Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H.)
(Drs. H. Arpani, S.H. M.H.)
A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tercermin dalam anelia IV yang menyatakan dimana Pemerintah melindungi bangsa Indonesia dan mencegah adanya konflik internal di dalam negeri. Menjamin keselamatan seluruh penduduk Indonesia, terlepas dari jenis kelamin dan usia, adalah tanggung jawab penting dari Negara.
Hak anak adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi, persoalan hak sudah jelas termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 28 secara jelas membahas hak dan seluk beluknya. Begitu juga dengan hak anak, dalam regulasi yang lebih khusus mengatur secara lebih mendalam tentang anak dan hak anak yakni dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Adalah penting bahwa semua individu, terlepas dari karakteristik demografis mereka, menerima perlindungan dan dukungan yang memadai dari pemerintah. Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepada anak-anak mereka sampai potensi dan kemampuan bawaan mereka menjadi jelas dan nyata. Dikaruniai seorang anak adalah sebuah anugerah dari Tuhan, yang dimana tidak semua orang dapat memiliki keturunan namun anak juga adalah sebagai ujian sebagaimana dengan firman Allah dalam “surah Al-Anfal ayat 28:”
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar”.
Selanjutnya firman Allah dalam “surah At-Tagabun ayat 14 - 15 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar.”
Anak sangat membutuhkan orang dewasa dalam mengambil tanggung jawab untuk perbaikan dan tumbuhkembang anak-anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak tergantung pada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yang berkaitan dengan revisi yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jelas bahwa beberapa perubahan telah dimasukkan untuk memperkuat kerangka hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Seorang anak didefinisikan sebagai individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Perlindungan anak merujuk pada langkah-langkah komprehensif yang diambil untuk melindungi kesejahteraan dan hak-hak anak, memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Tindakan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan. Dalam hubungan perkawinan, tidak jarang (pasca perceraian menjadikan psychologis bencana dalam rumah tangga, terutama bagi anak-anak. Pasangan yang bercerai akan mencari validasi atau pengakuan bahwa mereka benar untuk memilih berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada anak yang akan menjadi korban.
Banyak orang tua yang menunjukkan kelalaian dalam pemenuhan hak-hak anak-anak mereka, terutama dalam kasus di mana kedua orang tua sedang menjalani proses perceraian. Dalam situasi seperti itu, mereka sering memastikan keputusan yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri, daripada memprioritaskan kesejahteraan dan hak anak-anak mereka.
Masalah pengasuhan anak sering muncul baik sebelum dan sesudah penyelesaian pernikahan (divoece). Tidak jarang bagi mantan suami istri untuk terlibat dalam perselisihan tentang pengasuhan anak. Orang tua yang diberikan pengawasan atas anak-anak mereka melalui keputusan pengadilan seringkali menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua.
Dalam penulisan makalah ini, dimana pokok permasalahan yang akan dibahas adalah masalah Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian menurut hukum Islam dan Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian menurut Perundang-undangan Di Indonesia.
B. Pokok Masalah
I. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian Menurut Hukum Islam.
Perceraian adalah merupakan suatu perbuatan yang suatu dibenci oleh Allah namun dihalalkan oleh ajaran agama Islam. Lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak, sebagai pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu. Oleh karena demikian, kewajiban untuk memberikan nafkah dan memelihara anak tidak gugur sertamerta dengan adanya terjadinya perceraian.
Putusnya perkawinan pasangan suami isteri, tidak membuat putusnya hubungan orang tua dan anak, begitu juga hak-hak anak setelah orang tuanya berpisah, ada beberapa hal yang menjadi hak anak setelah perceraian dalam Islam, yaitu;
1. Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Hadhanah menurut etimologis berarti “disamping” atau “berada di bawah ketiak”. Sedangkan hadhanah menurut syara’ adalah pemeliharaan anak kecil, orang lemah, orang gila, atau sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat memberikan mudharat kepadanya.
Defenisi lain bisa diungkapkan bahwa Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Sayid Sabiq didalam kitabnya Fikih Sunnah, yang menjelaskan bahwa memelihara anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau belum mampu untuk mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu karena belum dapat memilah mana yang baik untuknya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akalnya agar sanggup memikul tanggung jawab.
Hukum hadhanah telah disepakati oleh para ulama hukumnya adalah wajib. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah hadhanah ini menjadi hak anak atau hak dari orang tua (terutama ibu). Pendapat pertama menyampaikan bahwa hak hadhanah jatuh ke tangan ibu sehingga ibu bisa saja menggugurkan haknya, pendapat ini dikemukakan oleh Ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa hak hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi perselisihan maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan anak.
Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak tersebut. Sehingga kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai, anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
2. Anak dan Nafkah Anak
Islam juga mengatur masalah nafkah yang harus ditanggung oleh ayah terhadap anaknya jika terjadi perceraian. Ayah masih memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya meskipun anak tersebut ikut dengan ibunya.
Kewajiban ayah menafkahi anak sampai anak akil baligh dan anak bisa menghidupi dirinya sendiri, khusus untuk perempuan nafkahnya sampai dia menikah. Namun realita dalam masyarakat tidaklah seperti itu. Anak yang ikut ibunya, kebanyakan ayah melupakan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak yang ikut dengan ibunya. Ayah menelantarkan anaknya bahkan terkadang anak tidak pernah dijenguk olehnya. Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari agama maupun dari pemerintah dalam pengaturan kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya.
Anak adalah anugerah Yang Maha Kuasa bagi para orang tua. Anak juga amanah dan perhiasan bagi mereka, sekaligus kebanggaan di kemudian hari. Namun di samping itu, anak juga bisa menjadi fitnah atau ujian, bahkan menjadi musuh bagi para orang tuanya. Kapankah seorang anak bisa menjadi musuh, ujian, perhiasan, dan menjadi penyejuk hati.
Islam mengajarkan kepada kita semua untuk memposisikan anak sebagai Amanah yang harus dijaga oleh ayah dan ibunya, dimana kedudukan anak dalam Islam dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Anak sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Posisi ini menjadikan derajat yang terbaik dan tertinggi dari seorang anak. sebagaimana terungkap dalam Al-Qur’an :
رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً
Artinya : “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan : 74).
Para ulama tafsir menyebutkan, maksud qurrata a’yun dalam ayat di atas adalah anak-anak yang saleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama. Tak heran jika anak yang memiliki perangai ini menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi kebanggaan dan pembela bagi para orang tua di dunia dan akhirat.
b. Anak sebagai perhiasan dunia.
Hal itu sebagaimana termuat dalam Qur’an sebagai berikut:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi : 46).
Ayat ini menjelaskan bahwa anak diposisikan sebagai perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Dalam hal ini kedudukan anak disejajarkan dengan perhiasan dan kekayaan dunia yang lainnya.
c. Anak sebagai fitnah atau ujian.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an :
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. At-Taghabun : 15).
Anak sebagai amanah atau titipan yang diharus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dipenuhi hak-haknya, disayang, dirawat, dididik agar memiliki masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tuanya. Ingatlah Allah memiliki balasan yang besar bagi mereka yang menjaga amanat ini. Maka janganlah sia-siakan jiwa dan raga anak, jangan bunuh mereka karena takut miskin. Demikian yang diamanatkan dalam Al-Qur’an, Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar, (QS. Al-Isra’ [17]:
d. Anak menjadi musuh.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah At-Tagabun ayat 14
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dalam ajaran agama Islam, dimana Allah telah memberikan petunjuk dan pedoman kepada kita semua, agar anak jangan ditelantarkan, anak harus diberikan nafkah yang layak, harus dijaga, dipelihara dan diberikan kasih sayang oleh kedua orangtuanya, walaupun kedua orangtuanya telah berpisah, maka hak hak anak terutama masalah nafkah anak betul-betul diperhatikan dan dipenuhi oleh orangtuanya.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah Al Baqarah ayat 233
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْر
Artinya :
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah An Nisa ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Artinya:
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah At Thalak ayat 7
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Artinya:
Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.
Penyelesaian anak pasca perceraian dimana dalam hukum di Indonesia dapat ditempuh dengan dua jalur hukum, yaitu jalur hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam dan jalur hukum positif, Dalam hal ini, mengenai ketentuan ibu yang lebih berhak mengasuh dan memelihara anak dari pada bapak secara eksplisit dijelaskan lagi di dalam aturan Pasal 156 (ayat a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Dalam hal terjadinya perceraian: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu”
II. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian Menurut Peraturan perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar Tertulis yang berlaku di Indonesia meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. secara eksplisit mencakup anak dengan orang tua yang bercerai, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 2 tentang hak-hak anak Kedua komponen tersebut dikaji dengan pendekatan filosofis, historis sosiologis, sistematis dan yuridis fungsional.
Ketentuan UUD 1945 tentang hak asasi manusia dapat dilihat dari ketentuan dalam pembukaan dan pasal-pasal dalam teks revisi. Meskipun UUD 1945 memuat pasal-pasal hak asasi manusia yang meliputi bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia tahun 1999 mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerah dari-Nya dan harus dihormati, dipelihara, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, dan Pemerintahan. Dan setiap orang untuk kehormatan dan perlindungan martabat manusia. Dari definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa kedua definisi tersebut meyakini bahwa hak asasi manusia adalah anugerah alam dari surga dan harus dihormati sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan ideologi dan landasan negara kita Pancasila, yaitu sila pertama yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Merujuk pada Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin anaraseorang pria dengan seorang wantasebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan diatur bahwa terhadap putusnya perkawinan terdapat beberapa akibat, yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selanjutnya, terkait dengan biaya pemeliharaan anak, UU Perkawinan mengatur bahwa biaya pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab bapak. Akan tetapi, bila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa:
Anak yang sah adalah:
1. anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah;
2. hasil perbuatan suami istri di luar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
Dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat membantu bagi tercapainya kesatuan dan kepastian hukum di masyarakat, khususnya yang menyangkut hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, hak asuh anak atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk) atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak tersebut untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh atau hak pemeliharaannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 105 KHI sebagaimana disebutkan di atas, bahwa anak yang belum berusia 12 tahun dan diasumsikan belum mumayyiz, sehingga seharusnya hak asuh anak berada pada ibunya. Namun, KHI juga mengatur lebih lanjut, bahwa apabila pemegang hadhanah (hak pemeliharaan atau hak asuh) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah , biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri atau berusia 21 tahun.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Tentang Perlindungan Anak
Menyelesaikan hak-hak setiap anak adalah kewajiban kolektif pemerintah, keluarga, dan orang tua. Sangat penting bahwa hak-hak ini diimplementasikan dengan cepat dan efektif, tanpa penundaan. Saat ini banyak sekali hak pada anak sebagai korban perceraian tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan contohnya dari masalah perlindungan ataupun pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Di Indonesia sendiri banyak kasus anak terlantar karena masalah pecahnya keluarga mereka. Setiap warga negara harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah, yang mencakup hak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Permasalahan yang kerap menjadi masalah pada negara yang berkembang adalah konspirasi tentang hak anak, bahwa orang yang mempunyai mandat tertinggi diharapkan menjadi tameng untuk menyuarakan keadilan ini. Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit mencakup anak dengan orang tua yang bercerai, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 2 tentang hak-hak anak tersebut.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Peraturan yang mengatur perlindungan anak dikendalikan dengan cara berikut:
a. Non-diskriminasi berarti menjamin perlindungan anak sesuai dengan prinsip dasar yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
b. Kesejahteraan anak menjadi prioritas dalam semua hal yang berkaitan dengan anak, termasuk yang melibatkan pemerintah, masyarakat, lembaga legislatif, dan pengadilan, perlindungan anak harus menjadi prioritas utama. Pertimbangan utama dalam membuat keputusan apa pun tentang masa depan anak harus menjadi kepentingan terbaik anak. Ketika orang tua mengalami perceraian, pertimbangan yang paling penting adalah kesejahteraan anak.
c. Hak yang paling penting bagi setiap anak adalah hak untuk dilindungi yang menjamin hak mereka untuk keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Setiap anak, terlepas dari perceraian orang tuanya, berhak mendapatkan kualitas hidup yang baik seperti dengan anak lain. Hak seorang anak untuk berkembang menjadi individu yang benar secara moral dan menerima bimbingan orang tua tidak berarti bahwa seorang anak dari orang tua yang bercerai tidak dapat berkembang dengan baik karena keadaan yang tidak sempurna.
d. Menilai perspektif anak dengan memberi Penghargaan, dalam konteks ini, menandakan pengakuan dan penghargaan atas hak anak untuk terlibat dan mengartikulasikan sudut pandang mereka pada subjek yang berkaitan dengan keberadaannya.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 telah merumuskan masalah hak-hak anak setelah pasca perceraian telah termuat dalam: angka 10 dan angka 14 sebagai berikut:
1. Pada angka 10 (sepuluh) menyebutkan : Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut.
2. Pada angka 14 (empat belas) menyebutkan : Amar mengenai pembebanan nafah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan Kesehatan.
Merujuk kepada surat edaran sebagaimana disebutkan pada angka 10 (sepuluh) di atas, maka dapat dipahami bahwa sepanjang hak hadhanah tidak diajukan oleh pihak berperkara, maka Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut tidak boleh menentukan hak hadhanah secara ex officio.
Selanjutnya juga dalam surat edaran tersebut pada angka 14 (empat belas) menyatakan bahwa mengenai amar putusan tentang pembebanan nafkah terhadap anak setelah disebutkan jumlah nilai nominalnya, maka harus diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun di luar biaya pendidikan dan kesehatan.
Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015, dimana telah ditegaskan kepada para Hakim yang memeriksa dan memutus perkara harus betul-betul memperhatikan tentang hak – hak anak setelah pasca terjadinya perceraian antara kedua orang tuanya.
C. Analisa Masalah
1. Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah menyatakan bahwa hadlanah merupakan hak bagi seorang anak, karena dia membutuhkan orang yang bisa mengatur dan merawatnya, memelihara dan memperhatikan semua kebutuhannya serta mengurus pendidikannya, maka yang dipilih dan diutamakan adalah ibunya, karena dia memiliki kekuasaan pemeliharaan dan penyusuan, sebab dia lebih mengetahui dan mampu dalam hal pendidikan anak, dan dari sudut ini seorang ibu memiliki kesabaran yang tidak ada pada seorang laki-laki (ayah), dan dia memiliki waktu yang tidak ada pada laki-laki (ayah). (Fiqh Sunnah II : hal. 338 - 339);
Hukum hadhanah telah disepakati oleh para ulama hukumnya adalah wajib. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah hadhanah ini menjadi hak anak atau hak dari orang tua (terutama ibu). Pendapat pertama menyampaikan bahwa hak hadhanah jatuh ke tangan ibu sehingga ibu bisa saja menggugurkan haknya, pendapat ini dikemukakan oleh Ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa hak hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi perselisihan maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan anak.
Berdasarkan kaidah hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf ( a ), “ Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya “ namun kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tidak semata-mata pada ibunya saja, tetapi juga bapaknya harus juga bertanggung jawab, sebagaimana maksud ketentuan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur hal-hal yang terjadi pasca perceraian, bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya;
Dalam hal pemeliharaan dan pendidikan anak bukan untuk kepentingan kedua orang tuannya, tetapi pemeliharaan dan pendidikan anak adalah untuk kepentingan anak itu sendiri, agar menjadi anak yang taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tuannya, berakhlak mulia, berguna bagi agama, bangsa dan Negara sebagaimana kaidah hukum yang tersebut dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 3 disebutkan “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.;
2. Nafkah Anak
Dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah AzZuhaili memberikan keterangan bahwa “Seorang ayah harus menanggung nafkah anaknya karena sebab kelahiran”.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, menyebutkan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya”, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri”. Dan berdasarkan Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “biaya Pemeliharaan anak ditanggung ayahnya”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dalam regulasi yang lebih khusus telah diatur secara mendalam tentang anak dan hak anak, pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dijelaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dasar hukum nafkah anak dalam pandangan Undang-Undang: Pemberian nafkah dari orang tua terhadap anak merupakan suatu kewajiban, hal ini tercantum pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 45 tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu: 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pandangan hukum Islam, sosok ayah berperan penting dalam hal memberikan nafkah kepada anak dan juga keluarganya itu juga merupakan salah satu tanggung jawab dari seorang ayah, Imam Syafi’i menjelaskan seorang ayah wajib memenuhi kebutuhan anak sejak menyusui, memberi nafkah, pakaian dan keperluan lainnya.
Berdasarkan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur hal-hal yang terjadi pasca perceraian, bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya;
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dijelaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
2. Saran-saran
Undang-undang telah mengatur dengan terperinci mengenai hak nafkah anak pasca perceraian. Namun belum ada Lembaga khusus yang dapat mengawasi dan menjamin bahwa nafkah anak pasca perceraian sangat diperlukan agar putusan hakim tidak hanya menjadi keputusan belaka melainkan dapat terealisasikan dengan secara konkrit dan penegakan hukum (law emporcement). Terhadap hak anak dapat dilaksanakan dengan baik dan tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Betra Sarianti, Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum Diantara Harapan dan Hambatan, Jurnal Ilmiah Kutei ,ISSN 14129639 edisi 28 April 2015.
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah., Jakarta: Kencana 2010.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2005.
Tarigan, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI., Jakarta: Kencana, 2006.
Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut:Dār al-Fikr, 1983 M/1403 H), Jil II, h.147.
Saifuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta; Pustaka Bangsa Press, 2003.
Prof. Dr.Drs.H. Amran Suadi, S.H., M.Hum, M.H. Hukum Jaminan Perlindungan Perempuan dan anak Penerbit. Gramedia.com, Edisi Kedua. Jakarta 2024
Perlindungan Terhadap Hak Anak Pasca Perceraian Menurut
Hukum Islam dan Perundang-undangan Di Indonesia
OLEH :
(Dra. Hj. Muhayah, S.H., M.H.)
(Drs. H. Arpani, S.H. M.H.)
A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tercermin dalam anelia IV yang menyatakan dimana Pemerintah melindungi bangsa Indonesia dan mencegah adanya konflik internal di dalam negeri. Menjamin keselamatan seluruh penduduk Indonesia, terlepas dari jenis kelamin dan usia, adalah tanggung jawab penting dari Negara.
Hak anak adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi, persoalan hak sudah jelas termuat dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Pasal 28 secara jelas membahas hak dan seluk beluknya. Begitu juga dengan hak anak, dalam regulasi yang lebih khusus mengatur secara lebih mendalam tentang anak dan hak anak yakni dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Adalah penting bahwa semua individu, terlepas dari karakteristik demografis mereka, menerima perlindungan dan dukungan yang memadai dari pemerintah. Orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan kepada anak-anak mereka sampai potensi dan kemampuan bawaan mereka menjadi jelas dan nyata. Dikaruniai seorang anak adalah sebuah anugerah dari Tuhan, yang dimana tidak semua orang dapat memiliki keturunan namun anak juga adalah sebagai ujian sebagaimana dengan firman Allah dalam “surah Al-Anfal ayat 28:”
وَاعْلَمُوْٓا اَنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۙوَّاَنَّ اللّٰهَ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “Ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai ujian dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar”.
Selanjutnya firman Allah dalam “surah At-Tagabun ayat 14 - 15 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
Artinya : “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah (ada) pahala yang besar.”
Anak sangat membutuhkan orang dewasa dalam mengambil tanggung jawab untuk perbaikan dan tumbuhkembang anak-anak. Pertumbuhan dan perkembangan anak tergantung pada bantuan yang diberikan oleh orang dewasa. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yang berkaitan dengan revisi yang dilakukan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, jelas bahwa beberapa perubahan telah dimasukkan untuk memperkuat kerangka hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Seorang anak didefinisikan sebagai individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Perlindungan anak merujuk pada langkah-langkah komprehensif yang diambil untuk melindungi kesejahteraan dan hak-hak anak, memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Tindakan ini bertujuan untuk melindungi anak-anak dari tindakan kekerasan. Dalam hubungan perkawinan, tidak jarang (pasca perceraian menjadikan psychologis bencana dalam rumah tangga, terutama bagi anak-anak. Pasangan yang bercerai akan mencari validasi atau pengakuan bahwa mereka benar untuk memilih berpisah. Mereka tidak lagi mempertimbangkan bahwa ada anak yang akan menjadi korban.
Banyak orang tua yang menunjukkan kelalaian dalam pemenuhan hak-hak anak-anak mereka, terutama dalam kasus di mana kedua orang tua sedang menjalani proses perceraian. Dalam situasi seperti itu, mereka sering memastikan keputusan yang menguntungkan bagi diri mereka sendiri, daripada memprioritaskan kesejahteraan dan hak anak-anak mereka.
Masalah pengasuhan anak sering muncul baik sebelum dan sesudah penyelesaian pernikahan (divoece). Tidak jarang bagi mantan suami istri untuk terlibat dalam perselisihan tentang pengasuhan anak. Orang tua yang diberikan pengawasan atas anak-anak mereka melalui keputusan pengadilan seringkali menunjukkan ketidakmampuan untuk memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua.
Dalam penulisan makalah ini, dimana pokok permasalahan yang akan dibahas adalah masalah Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian menurut hukum Islam dan Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian menurut Perundang-undangan Di Indonesia.
B. Pokok Masalah
I. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian Menurut Hukum Islam.
Perceraian adalah merupakan suatu perbuatan yang suatu dibenci oleh Allah namun dihalalkan oleh ajaran agama Islam. Lebih-lebih ketika pernikahan telah menghasilkan anak, sebagai pihak yang paling dirugikan akibat perceraian kedua orang tuanya. Anak akan kehilangan kasih sayang yang sangat dibutuhkan secara utuh dari kedua orang tua. Tidak ada anak yang hanya ingin mendapatkan kasih sayang dari ayahnya atau ibunya saja. Di samping itu nafkah dan pendidikannya dapat terganggu. Oleh karena demikian, kewajiban untuk memberikan nafkah dan memelihara anak tidak gugur sertamerta dengan adanya terjadinya perceraian.
Putusnya perkawinan pasangan suami isteri, tidak membuat putusnya hubungan orang tua dan anak, begitu juga hak-hak anak setelah orang tuanya berpisah, ada beberapa hal yang menjadi hak anak setelah perceraian dalam Islam, yaitu;
1. Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Hadhanah menurut etimologis berarti “disamping” atau “berada di bawah ketiak”. Sedangkan hadhanah menurut syara’ adalah pemeliharaan anak kecil, orang lemah, orang gila, atau sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat memberikan mudharat kepadanya.
Defenisi lain bisa diungkapkan bahwa Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.
Menurut Sayid Sabiq didalam kitabnya Fikih Sunnah, yang menjelaskan bahwa memelihara anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau belum mampu untuk mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu karena belum dapat memilah mana yang baik untuknya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akalnya agar sanggup memikul tanggung jawab.
Hukum hadhanah telah disepakati oleh para ulama hukumnya adalah wajib. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah hadhanah ini menjadi hak anak atau hak dari orang tua (terutama ibu). Pendapat pertama menyampaikan bahwa hak hadhanah jatuh ke tangan ibu sehingga ibu bisa saja menggugurkan haknya, pendapat ini dikemukakan oleh Ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa hak hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi perselisihan maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan anak.
Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak tersebut. Sehingga kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai, anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.
2. Anak dan Nafkah Anak
Islam juga mengatur masalah nafkah yang harus ditanggung oleh ayah terhadap anaknya jika terjadi perceraian. Ayah masih memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya meskipun anak tersebut ikut dengan ibunya.
Kewajiban ayah menafkahi anak sampai anak akil baligh dan anak bisa menghidupi dirinya sendiri, khusus untuk perempuan nafkahnya sampai dia menikah. Namun realita dalam masyarakat tidaklah seperti itu. Anak yang ikut ibunya, kebanyakan ayah melupakan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak yang ikut dengan ibunya. Ayah menelantarkan anaknya bahkan terkadang anak tidak pernah dijenguk olehnya. Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari agama maupun dari pemerintah dalam pengaturan kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya.
Anak adalah anugerah Yang Maha Kuasa bagi para orang tua. Anak juga amanah dan perhiasan bagi mereka, sekaligus kebanggaan di kemudian hari. Namun di samping itu, anak juga bisa menjadi fitnah atau ujian, bahkan menjadi musuh bagi para orang tuanya. Kapankah seorang anak bisa menjadi musuh, ujian, perhiasan, dan menjadi penyejuk hati.
Islam mengajarkan kepada kita semua untuk memposisikan anak sebagai Amanah yang harus dijaga oleh ayah dan ibunya, dimana kedudukan anak dalam Islam dapat dikategorikan sebagai berikut :
a. Anak sebagai penenang hati, penyejuk jiwa, dan pemimpin orang-orang yang bertakwa. Posisi ini menjadikan derajat yang terbaik dan tertinggi dari seorang anak. sebagaimana terungkap dalam Al-Qur’an :
رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً
Artinya : “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan : 74).
Para ulama tafsir menyebutkan, maksud qurrata a’yun dalam ayat di atas adalah anak-anak yang saleh, taat kepada Allah, berbakti kepada orang tua, bermanfaat bagi sesama. Tak heran jika anak yang memiliki perangai ini menjadi pemimpin orang-orang yang bertakwa, menjadi kebanggaan dan pembela bagi para orang tua di dunia dan akhirat.
b. Anak sebagai perhiasan dunia.
Hal itu sebagaimana termuat dalam Qur’an sebagai berikut:
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَالْبٰقِيٰتُ
Artinya : “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan,” (QS. Al-Kahfi : 46).
Ayat ini menjelaskan bahwa anak diposisikan sebagai perhiasan dan kekayaan dunia bagi orang tuanya. Layaknya perhiasan dan kekayaan, anak diperlakukan, dijaga, bahkan disayang sebaik-baiknya oleh para orang tua. Dalam hal ini kedudukan anak disejajarkan dengan perhiasan dan kekayaan dunia yang lainnya.
c. Anak sebagai fitnah atau ujian.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an :
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar." (QS. At-Taghabun : 15).
Anak sebagai amanah atau titipan yang diharus dijaga dengan sebaik-baiknya. Dipenuhi hak-haknya, disayang, dirawat, dididik agar memiliki masa depan yang cerah dan membahagiakan orang tuanya. Ingatlah Allah memiliki balasan yang besar bagi mereka yang menjaga amanat ini. Maka janganlah sia-siakan jiwa dan raga anak, jangan bunuh mereka karena takut miskin. Demikian yang diamanatkan dalam Al-Qur’an, Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar, (QS. Al-Isra’ [17]:
d. Anak menjadi musuh.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah At-Tagabun ayat 14
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّ مِنْ اَزْوَاجِكُمْ وَاَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْۚ وَاِنْ تَعْفُوْا وَتَصْفَحُوْا وَتَغْفِرُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Dalam ajaran agama Islam, dimana Allah telah memberikan petunjuk dan pedoman kepada kita semua, agar anak jangan ditelantarkan, anak harus diberikan nafkah yang layak, harus dijaga, dipelihara dan diberikan kasih sayang oleh kedua orangtuanya, walaupun kedua orangtuanya telah berpisah, maka hak hak anak terutama masalah nafkah anak betul-betul diperhatikan dan dipenuhi oleh orangtuanya.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah Al Baqarah ayat 233
وَالْوٰلِدٰتُ يُرْضِعْنَ اَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ اَرَادَ اَنْ يُّتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۗ وَعَلَى الْمَوْلُوْدِ لَهٗ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ اِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَاۤرَّ وَالِدَةٌ ۢبِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُوْدٌ لَّهٗ بِوَلَدِهٖ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذٰلِكَ ۚ فَاِنْ اَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗوَاِنْ اَرَدْتُّمْ اَنْ تَسْتَرْضِعُوْٓا اَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اِذَا سَلَّمْتُمْ مَّآ اٰتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْر
Artinya :
Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani, kecuali sesuai dengan kemampuannya. Janganlah seorang ibu dibuat menderita karena anaknya dan jangan pula ayahnya dibuat menderita karena anaknya. Ahli waris pun seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) berdasarkan persetujuan dan musyawarah antara keduanya, tidak ada dosa atas keduanya. Apabila kamu ingin menyusukan anakmu (kepada orang lain), tidak ada dosa bagimu jika kamu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah An Nisa ayat 9
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا
Artinya:
Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).
Allah telah berfirman dalam Al qur’an Surah At Thalak ayat 7
لِيُنْفِقْ ذُوْ سَعَةٍ مِّنْ سَعَتِهٖۗ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهٗ فَلْيُنْفِقْ مِمَّآ اٰتٰىهُ اللّٰهُ ۗ لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا مَآ اٰتٰىهَاۗ سَيَجْعَلُ اللّٰهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُّسْرًا
Artinya:
Hendaklah orang yang lapang (rezekinya) memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari apa (harta) yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadanya. Allah kelak akan menganugerahkan kelapangan setelah kesempitan.
Penyelesaian anak pasca perceraian dimana dalam hukum di Indonesia dapat ditempuh dengan dua jalur hukum, yaitu jalur hukum Islam melalui Kompilasi Hukum Islam dan jalur hukum positif, Dalam hal ini, mengenai ketentuan ibu yang lebih berhak mengasuh dan memelihara anak dari pada bapak secara eksplisit dijelaskan lagi di dalam aturan Pasal 156 (ayat a) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi, “Dalam hal terjadinya perceraian: Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibu”
II. Pemenuhan Hak Anak Pasca Perceraian Menurut Peraturan perundang-undangan
1. Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan Hukum Dasar Tertulis yang berlaku di Indonesia meliputi Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. secara eksplisit mencakup anak dengan orang tua yang bercerai, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 2 tentang hak-hak anak Kedua komponen tersebut dikaji dengan pendekatan filosofis, historis sosiologis, sistematis dan yuridis fungsional.
Ketentuan UUD 1945 tentang hak asasi manusia dapat dilihat dari ketentuan dalam pembukaan dan pasal-pasal dalam teks revisi. Meskipun UUD 1945 memuat pasal-pasal hak asasi manusia yang meliputi bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Undang-undang Nomor 39 tentang Hak Asasi Manusia tahun 1999 mendefinisikan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerah dari-Nya dan harus dihormati, dipelihara, dan dilindungi oleh Negara, Hukum, dan Pemerintahan. Dan setiap orang untuk kehormatan dan perlindungan martabat manusia. Dari definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa kedua definisi tersebut meyakini bahwa hak asasi manusia adalah anugerah alam dari surga dan harus dihormati sebagai manusia. Hal ini sejalan dengan ideologi dan landasan negara kita Pancasila, yaitu sila pertama yang berlandaskan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Merujuk pada Pasal 1 UU Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir batin anaraseorang pria dengan seorang wantasebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang Bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan Pasal 41 UU Perkawinan diatur bahwa terhadap putusnya perkawinan terdapat beberapa akibat, yaitu:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberi keputusannya;
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut;
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Selanjutnya, terkait dengan biaya pemeliharaan anak, UU Perkawinan mengatur bahwa biaya pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi tanggung jawab bapak. Akan tetapi, bila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3. Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa:
Anak yang sah adalah:
1. anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah;
2. hasil perbuatan suami istri di luar Rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut;
Dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sangat membantu bagi tercapainya kesatuan dan kepastian hukum di masyarakat, khususnya yang menyangkut hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Kompilasi Hukum Islam
Menurut Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, hak asuh anak atau pemeliharaan anak yang belum mumayyiz (sudah bisa membedakan sesuatu yang baik dan yang buruk) atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, sedangkan pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak tersebut untuk memilihdi antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak asuh atau hak pemeliharaannya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 105 KHI sebagaimana disebutkan di atas, bahwa anak yang belum berusia 12 tahun dan diasumsikan belum mumayyiz, sehingga seharusnya hak asuh anak berada pada ibunya. Namun, KHI juga mengatur lebih lanjut, bahwa apabila pemegang hadhanah (hak pemeliharaan atau hak asuh) ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan, Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah , biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri atau berusia 21 tahun.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Tentang Perlindungan Anak
Menyelesaikan hak-hak setiap anak adalah kewajiban kolektif pemerintah, keluarga, dan orang tua. Sangat penting bahwa hak-hak ini diimplementasikan dengan cepat dan efektif, tanpa penundaan. Saat ini banyak sekali hak pada anak sebagai korban perceraian tidak mendapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan contohnya dari masalah perlindungan ataupun pemenuhan kebutuhan mereka sendiri. Di Indonesia sendiri banyak kasus anak terlantar karena masalah pecahnya keluarga mereka. Setiap warga negara harus bertanggung jawab sepenuhnya kepada pemerintah, yang mencakup hak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Permasalahan yang kerap menjadi masalah pada negara yang berkembang adalah konspirasi tentang hak anak, bahwa orang yang mempunyai mandat tertinggi diharapkan menjadi tameng untuk menyuarakan keadilan ini. Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit mencakup anak dengan orang tua yang bercerai, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 2 tentang hak-hak anak tersebut.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak didasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Peraturan yang mengatur perlindungan anak dikendalikan dengan cara berikut:
a. Non-diskriminasi berarti menjamin perlindungan anak sesuai dengan prinsip dasar yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.
b. Kesejahteraan anak menjadi prioritas dalam semua hal yang berkaitan dengan anak, termasuk yang melibatkan pemerintah, masyarakat, lembaga legislatif, dan pengadilan, perlindungan anak harus menjadi prioritas utama. Pertimbangan utama dalam membuat keputusan apa pun tentang masa depan anak harus menjadi kepentingan terbaik anak. Ketika orang tua mengalami perceraian, pertimbangan yang paling penting adalah kesejahteraan anak.
c. Hak yang paling penting bagi setiap anak adalah hak untuk dilindungi yang menjamin hak mereka untuk keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan. Setiap anak, terlepas dari perceraian orang tuanya, berhak mendapatkan kualitas hidup yang baik seperti dengan anak lain. Hak seorang anak untuk berkembang menjadi individu yang benar secara moral dan menerima bimbingan orang tua tidak berarti bahwa seorang anak dari orang tua yang bercerai tidak dapat berkembang dengan baik karena keadaan yang tidak sempurna.
d. Menilai perspektif anak dengan memberi Penghargaan, dalam konteks ini, menandakan pengakuan dan penghargaan atas hak anak untuk terlibat dan mengartikulasikan sudut pandang mereka pada subjek yang berkaitan dengan keberadaannya.
5. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015
Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015 telah merumuskan masalah hak-hak anak setelah pasca perceraian telah termuat dalam: angka 10 dan angka 14 sebagai berikut:
1. Pada angka 10 (sepuluh) menyebutkan : Penetapan hak hadhanah sepanjang tidak diajukan dalam gugatan/permohonan, maka Hakim tidak boleh menentukan secara ex officio siapa pengasuh anak tersebut.
2. Pada angka 14 (empat belas) menyebutkan : Amar mengenai pembebanan nafah anak hendaknya diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun dari jumlah yang ditetapkan, di luar biaya pendidikan dan Kesehatan.
Merujuk kepada surat edaran sebagaimana disebutkan pada angka 10 (sepuluh) di atas, maka dapat dipahami bahwa sepanjang hak hadhanah tidak diajukan oleh pihak berperkara, maka Hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut tidak boleh menentukan hak hadhanah secara ex officio.
Selanjutnya juga dalam surat edaran tersebut pada angka 14 (empat belas) menyatakan bahwa mengenai amar putusan tentang pembebanan nafkah terhadap anak setelah disebutkan jumlah nilai nominalnya, maka harus diikuti dengan penambahan 10% sampai dengan 20% per tahun di luar biaya pendidikan dan kesehatan.
Sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2015, dimana telah ditegaskan kepada para Hakim yang memeriksa dan memutus perkara harus betul-betul memperhatikan tentang hak – hak anak setelah pasca terjadinya perceraian antara kedua orang tuanya.
C. Analisa Masalah
1. Hak Asuh Anak (Hadhanah)
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah menyatakan bahwa hadlanah merupakan hak bagi seorang anak, karena dia membutuhkan orang yang bisa mengatur dan merawatnya, memelihara dan memperhatikan semua kebutuhannya serta mengurus pendidikannya, maka yang dipilih dan diutamakan adalah ibunya, karena dia memiliki kekuasaan pemeliharaan dan penyusuan, sebab dia lebih mengetahui dan mampu dalam hal pendidikan anak, dan dari sudut ini seorang ibu memiliki kesabaran yang tidak ada pada seorang laki-laki (ayah), dan dia memiliki waktu yang tidak ada pada laki-laki (ayah). (Fiqh Sunnah II : hal. 338 - 339);
Hukum hadhanah telah disepakati oleh para ulama hukumnya adalah wajib. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah hadhanah ini menjadi hak anak atau hak dari orang tua (terutama ibu). Pendapat pertama menyampaikan bahwa hak hadhanah jatuh ke tangan ibu sehingga ibu bisa saja menggugurkan haknya, pendapat ini dikemukakan oleh Ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa hak hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi perselisihan maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan anak.
Berdasarkan kaidah hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf ( a ), “ Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya “ namun kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak tidak semata-mata pada ibunya saja, tetapi juga bapaknya harus juga bertanggung jawab, sebagaimana maksud ketentuan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur hal-hal yang terjadi pasca perceraian, bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya;
Dalam hal pemeliharaan dan pendidikan anak bukan untuk kepentingan kedua orang tuannya, tetapi pemeliharaan dan pendidikan anak adalah untuk kepentingan anak itu sendiri, agar menjadi anak yang taat kepada Allah, berbakti kepada kedua orang tuannya, berakhlak mulia, berguna bagi agama, bangsa dan Negara sebagaimana kaidah hukum yang tersebut dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 3 disebutkan “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.;
2. Nafkah Anak
Dalam kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu, Syekh Wahbah AzZuhaili memberikan keterangan bahwa “Seorang ayah harus menanggung nafkah anaknya karena sebab kelahiran”.
Berdasarkan Pasal 45 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, menyebutkan bahwa “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya”, Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri”. Dan berdasarkan Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa “biaya Pemeliharaan anak ditanggung ayahnya”.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak, dalam regulasi yang lebih khusus telah diatur secara mendalam tentang anak dan hak anak, pada Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dijelaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Dasar hukum nafkah anak dalam pandangan Undang-Undang: Pemberian nafkah dari orang tua terhadap anak merupakan suatu kewajiban, hal ini tercantum pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 45 tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, yaitu: 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Hadhanahadalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.
Dalam pandangan hukum Islam, sosok ayah berperan penting dalam hal memberikan nafkah kepada anak dan juga keluarganya itu juga merupakan salah satu tanggung jawab dari seorang ayah, Imam Syafi’i menjelaskan seorang ayah wajib memenuhi kebutuhan anak sejak menyusui, memberi nafkah, pakaian dan keperluan lainnya.
Berdasarkan Pasal 41 huruf (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yang mengatur hal-hal yang terjadi pasca perceraian, bahwa baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusannya;
Berdasarkan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dijelaskan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
2. Saran-saran
Undang-undang telah mengatur dengan terperinci mengenai hak nafkah anak pasca perceraian. Namun belum ada Lembaga khusus yang dapat mengawasi dan menjamin bahwa nafkah anak pasca perceraian sangat diperlukan agar putusan hakim tidak hanya menjadi keputusan belaka melainkan dapat terealisasikan dengan secara konkrit dan penegakan hukum (law emporcement). Terhadap hak anak dapat dilaksanakan dengan baik dan tuntas.
DAFTAR PUSTAKA
Betra Sarianti, Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum Diantara Harapan dan Hambatan, Jurnal Ilmiah Kutei ,ISSN 14129639 edisi 28 April 2015.
Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah., Jakarta: Kencana 2010.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2005.
Tarigan, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI., Jakarta: Kencana, 2006.
Sayyid Sābiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut:Dār al-Fikr, 1983 M/1403 H), Jil II, h.147.
Saifuddin Mujtaba dan Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Jakarta; Pustaka Bangsa Press, 2003.
Prof. Dr.Drs.H. Amran Suadi, S.H., M.Hum, M.H. Hukum Jaminan Perlindungan Perempuan dan anak Penerbit. Gramedia.com, Edisi Kedua. Jakarta 2024