banner ptaa

 

Ditulis oleh Admin Kesekretariatan 1 on . Dilihat: 1073

AMANDEMEN KEDUA UU ITE

Oleh: Dr. Drs. H. Moh. Faishol Hasanuddin, S.H., M.H.

Hakim Tinggi PTA Samarinda

Latar Belakang

Pemerintah memandang perlu untuk menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan. Karena itu, maka perlu diatur pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang memberikan kepastian hukum, keadilan, dan melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik, Teknologi Informasi, dan/ atau Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum.

Dengan pertimbangan tersebut, maka beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dalam pelaksanaannya masih menimbulkan multitafsir dan kontroversi di masyarakat sehingga perlu dilakukan perubahan untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat dan kepastian hukum.

Karena itu pula, maka berdasarkan pertimbangan tersebut perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Ketentuan yang Masih Tetap

Terdapat ketentuan norma yang masih tetap dipertahankan, antara lain: Urgensi dan tujuan pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik yang tercantum dalam Pasal 4 UU 11/2008, ini tidak mengalami perubahan. Jangkauan berlakunya UU ITE sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU 11/2008, masih tetap berlaku, tanpa perubahan. Asas-asas dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan 5 (lima) asas, atau yang disebut dengan Asas UU ITE, yang meliputi: asas kepastian hukum, asas manfaat, asas kehati-hatian, asas iktikad baik, dan asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi yang diatur dalam Pasal 3 UU ITE juga masih tetap, tanpa ada perubahan, demikian pula penjelasannya.

Pengertian istilah-istilah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU ITE masih tetap, tentunya dengan tambahan berupa sisipan angka 6a yang merupakan hasil amandemen pertama UU ITE yaitu UU 19/2016. Ketentuan mengenai Transaksi Elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU ITE juga masih tetap berlaku, dimana penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat, dan para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung. Ketentuan mengenai transaksi elektronik yang dituangkan dalam Kontrak Elektronik (Pasal 18 UU ITE) hal itu mengikat Para Pihak, masih tetap berlaku tanpa perubahan.

Ketentuan bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik adalah Alat Bukti yang Sah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, masih tetap berlaku tanpa perubahan.

Pasal 5 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, juga masih tetap berlaku tanpa perubahan.

Ketentuan mengenai sistem elektronik agar IE dan / atau DE dinyatakan sah sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, dimana setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum. Dalam hal ini ada ada lima syarat, dari huruf a hingga e. Sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU ITE. Hal ini masih tetap berlaku tanpa perubahan.

Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagaimana Pasal 11 UU ITE, tidak mengalami perubahan. Demikian pula ketentuan mengenai pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UU ITE tidak mengalami perubahan.

Pasal 38 dan 39 UU ITE mengenai penyelesaian sengketa ITE juga tidak mengalami amandemen, dimana setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian (Pasal 38 ayat (1)). Masyarakat juga dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 38 ayat (2)). Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 39 ayat (1)). Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 39 ayat (2)).

Ketentuan yang Mengalami Penyempurnaan

Norma yang disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O08 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Norma dimaksud meliputi:

  1. Alat bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, yang semula dipandang cukup jelas, agar tidak terjadi multi tafsir maka pada amandemen kedua UU ini diberi penjelasan sebagai berikut:

“Keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.” Dengan demikian lebih dipertegas mengenai kekuatan mengikatnya.

Sementara, Pasal 5 ayat (2) UU ITE yang menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia, yang semula dianggap cukup jelas diberikan penjelasan sebagai berikut:

“Khusus untuk Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan Undang-Undang.” Hal ini perlu dipertegas agar tanpa alasan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan Undang-Undang, maka intersepsi atau penyadapan atau perekaman adalah dilarang untuk dilakukan.

Masih kaitannya dengan Pasal 5 UU ITE. Pada ayat (4)–nya yang semula diberi klausul dengan dua klausul. Maka dalam amandemen kedua ini kalusul itu diperluas sehingga menjadi: tidak terbatas pada dua batasan, namun diperluas dengan “dalam hal diatur lain dalam Undang-Undang.”

  2. Sertilikasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13; 
  3. Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
  4. Perbuatan yang dilarang, antara lain Pasal 27, Pasal 27A, PasaT 27B, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidananya yang diatur dalam Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45 B;
  5. Peran Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; dan
  6. Kewenangan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.

Ketentuan Norma Baru

Selain itu, Undang-Undang ini juga melengkapi materi yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20O8 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Materi yang baru tersebut meliputi:

  1. Identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A;
  2. Perlindungan anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A dan Pasal 16B;
  3. Kontrak Elektronik Internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A; dan
  4. Peran Pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital yang adil, akuntabel, aman, dan inovatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A.

Kesimpulan

Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas:

1. Terdapat norma yang masih tetap dipertahankan tanpa perubahan, antara lain:
  Urgensi dan tujuan pemanfaatan TI dan TE;
  Jangkauan berlakunya UU ITE;
  Asas-asas dalam pemanfaatan TI dan TE;
  Pengertian istilah-istilah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 UU ITE;
  Ketentuan Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat (Pasal 17 UU ITE);
  Ketentuan mengenai TE yang dituangkan dalam KE (Pasal 18 UU ITE) hal itu mengikat Para Pihak;
  Ketentuan bahwa Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik adalah Alat Bukti yang Sah (Pasal 5 ayat (1) UU ITE);
  IE dan/atau DE dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah;
  Ketentuan mengenai 5 persyaratan sistem elektronik agar IE dan / atau DE dinyatakan sah (Pasal 16 UU ITE);
  Tanda Tangan Elektronik (Pasal 11 UU ITE) dan pengamanannya (Pasal 12 UU ITE);
  Pasal 38 UU ITE mengenai penyelesaian sengketa ITE;
  Gugatan perdata maupun arbitrase terhadap sengketa ITE (Pasal 39 ITE).
   
2. Norma yang disempurnakan:
  - Alat bukti elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 UU ITE;
  Sertilikasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
  Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;
  Perbuatan yang dilarang, antara lain Pasal 27, Pasal 27A, PasaT 278, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 beserta ketentuan pidananya yang diatur dalam Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45El;
  Peran Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; dan
  Kewenangan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
   
3. Norma baru, meliputi:
  Identitas digital dalam penyelenggaraan sertifikasi elektronik (Pasal 13A);
  Perlindungan anak dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Pasal 16A dan Pasal 16B);
  Kontrak Elektronik Internasional (Pasal 18A);
  Peran Pemerintah dalam mendorong terciptanya ekosistem digital (Pasal 40A).

        Demikian, semoga bermanfaat.

Samarinda, 7 Januari 2024

Hubungi Kami

Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

Jl. MT. Haryono No. 24 Samarinda

Prov. Kalimantan Timur

Telp: 0541-733337
Fax: 0541-746702

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

 

icons8 facebook old 48icons8 instagram 48icons8 youtube squared 48icons8 address 48icons8 whatsapp 48icons8 twitter 48