UU INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK,
ASPEK HUKUM DAN PEMBUKTIANNYA
Oleh Dr. Drs. H. Moh. Faishol Hassanuddin, S.H., M.H.
Hakim Tinggi PTA Samarinda
Latar belakang
Di antara kewenangan Peradilan Agama adalah mengadili sengketa yang menyangkut hukum kebendaan. Misalnya, sengketa yang terkait dengan kewarisan, hibah, wasiat dan sengketa ekonomi Syari’ah, sebagaimana d maksud oleh Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi dan transaksi elektronik maka aspek-aspek hukum yang berkenaan dengan kewenangan mengadili sengketa-sengketa semakin berekembang pula.
Apa yang melatarbelakangi diundangkannya Undang-undang Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah bahwa a. pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan Informasi dan Transaksi Elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan Teknologi Informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; c. bahwa perkembangan dan kemajuan Teknologi Informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru; d. bahwa penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan Peraturan Perundang-undangan demi kepentingan nasional; e. bahwa pemanfaatan Teknologi Informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; f. bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan Teknologi Informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan Teknologi Informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia.
Background seperti itulah yang melatarbelakangi diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Khusus mengenai transaksi elektronik maka perlu lebih memperoleh perhatian mengingat bahwa sengketa ekonomi syari’ah sangat erat kaitannya dengan aspek ini. Perlu diingat bahwa bidang ekenomi syrai’ah itu adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah yang antara lain meliputi: a. bank syari’ah; b. lembaga keuangan mikro syari’ah. c. asuransi syari’ah; d. reasuransi syari’ah; e. reksa dana syari’ah; f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah; g. sekuritas syari’ah; h. pembiayaan syari’ah; i. pegadaian syari’ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan k. bisnis syari’ah.
URGENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan mengingat adanya tujuan yang urgen yaitu untuk:
a. | mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia; |
b. | mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat; |
c. | meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik; |
d. | membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan |
dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan | |
e. | memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi. (Pasal 4) |
Jangkauan UU ITE
Undang-Undang ITE berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia. (Pasal 2)
Dalam Penjelasan Pasal 2 UU ITE disebutkan bahwa Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas teritorial atau universal.
Kemudian, yang dimaksud dengan “merugikan kepentingan Indonesia” adalah meliputi tetapi tidak terbatas pada merugikan kepentingan ekonomi nasional, perlindungan data strategis, harkat dan martabat bangsa, pertahanan dan keamanan negara, kedaulatan negara, warga negara, serta badan hukum Indonesia.
Asas UU ITE
Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan 5 (lima) asas, yaitu:
- | Asas kepastian hukum, |
- | Asas manfaat, |
- | Asas kehati-hatian, |
- | Asas iktikad baik, dan |
- | Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi. (Pasal 3) |
Asas kepastian hukum, berarti landasan hukum bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapatkan pengakuan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Asas manfaat, berarti asas bagi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik diupayakan untuk mendukung proses berinformasi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Asas kehati-hatian, berarti landasan bagi pihak yang bersangkutan harus memperhatikan segenap aspek yang berpotensi mendatangkan kerugian, baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik.
Asas iktikad baik, berarti asas yang digunakan para pihak dalam melakukan Transaksi Elektronik tidak bertujuan untuk secara sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakibatkan kerugian bagi pihak lain tanpa sepengetahuan pihak lain tersebut.
Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi, berarti asas pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik tidak terfokus pada penggunaan teknologi tertentu sehingga dapat mengikuti perkembangan pada masa yang akan datang. (Penjelasan Pasal 3 UU ITE)
Pengertian Informasi Elektronik, Transaksi Elektronik, dan Dokumen Elektronik
Dalam Undang-Undang ITE ini maka yang dimaksud dengan:
1. | Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, |
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 ayat (1)). |
|
2. | Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau |
media elektronik lainnya. (Pasal 1 ayat (2)). | |
3. | Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, meng- |
analisis, dan/atau menyebarkan informasi. (Pasal 1 ayat (3)). | |
4. | Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk |
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (Pasal 1 ayat (4)). |
Ketentuan Mengenai Transaksi Elektronik
Penyelenggaraan Transaksi Elektronik dapat dilakukan dalam lingkup publik ataupun privat. Pasal 17 ayat (1)
Para pihak yang melakukan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib beriktikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik selama transaksi berlangsung.
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Kontrak Elektronik Mengikat Para Pihak
Transaksi Elektronik yang dituangkan ke dalam Kontrak Elektronik mengikat para pihak. Pasal 18 ayat (1)
Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya.
Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. Pasal 18 ayat (4)
Jika para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik adalah Alat Bukti yang Sah
Dinyatakan dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UndangUndang ini.
Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. | surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan |
b. | surat beserta dokumennya yang menurut UndangUndang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh |
pejabat pembuat akta. (Pasal 5 ayat (4) |
Ketentuan Mengenai Sistem Elektronik Agar IE dan / atau DE Dinyatakan Sah
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. | dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang |
dietapkan dengan Peraturan Perundang-undangan; | |
b. | dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam Penyeleng- |
garaan Sistem Elektronik tersebut; | |
c. | dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; |
d. | dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh |
pihak yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan | |
e. | memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. |
Pasal 16 (1) |
Ketentuan lebih lanjut tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 16 ayat (2)).
Itulah sejumlah syarat dari Sistem Elektronik agar Informasi Elektroniknya dinilai sebagai alat bukti hukum yang sah, sebagaimana ketentuan Pasal 5 UU ini.
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. (Pasal 6)
Tanda Tangan Elektronik
Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. | data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan; |
b. | data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda |
Tangan; | |
c. | segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui; |
d. | segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu |
penandatanganan dapat diketahui; | |
e. | tata cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan |
f. | terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi |
Elektronik yang terkait. Pasal 11 ayat (1) |
Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 11 ayat (2)
Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya. Pasal 12 ayat (1)
Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. | sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak; | |
b. | Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehatihatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait | |
pembuatan Tanda Tangan Elektronik; | ||
c. | Penada Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik | |
ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika: | ||
1. | Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau | |
2. | keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data | |
pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan | ||
d. | dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan | |
kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut. Pasal 12 ayat (2) |
Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul. Pasal 12 ayat (3)
PEMBUKTIAN BERDASARKAN UU ITE
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik adalah Alat Bukti yang Sah
- | Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (Pasal 5 ayat (1)) |
- | InformasiElektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan |
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (Pasal 5 ayat (2)) |
Kekuatan Pembuktian Bukti ITE
Dalam Pasal 7 UU ITE dinyatakan bahwa Setiap Orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak Orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. (Pasal 7)
Pada Pasal 5 ayat (1) UU ITE ditegaskan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Ini artinya, dengan sekedar menunjukkan suatu bukti adanya transaksi elektronik, maka pemilik bukti dipandang benar telah melakukan suatu prestasi sebagaimana tercantum dalam bukti transaksi elektronik tersebut. Contoh bukti transfer pembayaran atas pembelian sesuatu barang secara elektronik. Ketika pemilik bukti mengirimkan screenshot dari bukti transfer maka screenshot bukti transfer tersebut diakui sah sebagai alat bukti telah melakukan pembayaran.
Jika penerima bukti screenshot menolak kebenaran bukti screenshot itu, maka ia harus memastikan bahwa bukti Transaksi Elektronik yang diajukan pihak lawan itu tidak berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Sebaliknya, pihak pengaju alat bukti Transaksi Elektronik yang dibantah kebenarannya maka ia harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Ini artinya, kedua belah pihak sama-sama memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Jika pihak lawan yang menolak alat bukti elektronik tersebut tidak bisa memastikannya sesuai dengan ketentuan Pasal 7 UU ITE, sedang pihak pengaju bukti dapat memastikan bukti elektroniknya maka bukti elektronik itu terbukti benar, sehingga gugatan dapat dikabulkan.
PENYELESAIAN SENGKETA ITE
Setiap Orang dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang menimbulkan kerugian. Pasal 38 ayat (1)
Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menyelenggarakan Sistem Elektronik dan/atau menggunakan Teknologi Informasi yang berakibat merugikan masyarakat, sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 38 ayat (2)
Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 39 ayat (1)
Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 39 ayat (2)
Dalam hal Transaksi Elektronik dilakukan atas dasar prinsip-prinsip syari’ah maka kewenangan mengadilinya ada pada peradilan di lingkup Peradilan Agama.
Kesimpulan
1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
2. Jika penerima bukti DE tidak mengakui kebenaran bukti DE itu, maka ia harus memastikan bahwa bukti DE yang diajukan pihak lawan itu tidak berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Demikian pula pihak pengaju bukti elektronik. Dan jika penerima bukti DE tidak mampu membuktikan dalil bantahannya, maka DE terbukti kebenarannya, sehingga gugatan dapat dikabulkan.
3. Dalam hal Transaksi Elektronik dilakukan atas dasar prinsip-prinsip syari’ah maka kewenangan mengadilinya ada pada peradilan di lingkungan Peradilan Agama.
Samarinda, 4 Desember 2023