banner ptaa

 

Ditulis oleh Admin Kesekretariatan 1 on . Dilihat: 3124

MENAKAR KEMBALI ALASAN MENDESAK DALAM PERKARA DISPENSASI KAWIN

(Oleh: Dr. Drs. H. Supadi, M.H.)

A. Pendahuluan

Dispensasi kawin berasal dari kata dispensasi dan kawin. Dispensasi adalah pengecualian dari aturan karena adanya pertimbangan yang khusus. Sedangkan kawin atau perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun (vide Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019). Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Pasal 7 ayat (1) merubah batas usia kawin bagi seorang wanita yang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mencapai umur 16 tahun dirubah sudah mencapai umur 19 tahun. Tujuan dirubahnya batas usia kawin bagi seorang wanita yang akan melangsungkan perkawinan adalah: untuk menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa dispensasi kawin adalah Pemberian izin untuk melaksanakan perkawinan oleh pengadilan kepada calon suami/istri yang belum belum mencapai umur 19 tahun. Dari latar belakang tersebut timbullah suatu permasalahan bagaimana cara memeriksa perkara dispensasi kawin dan apa parameter alasan sangat mendesak?

B. Pembahasan

Perkara dispensasi kawin untuk selanjutnya disingkat diska di peradilan agama meningkat signifikan terutama pasca disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita.

Berdasarkan Data Dirjen Badilag MA RI menunjukkan bahwa perkara diska pada tahun 2020 terjadi kenaikan yang sangat signifikan, yaitu sebanyak = 64.196 perkara, dan pada tahun 2019 sebanyak 24.864 perkara. Jumlah tersebut meningkat kurang lebih seratus 152 % dibandingkan data diska tahun 2019.

Meningkatnya perkara diska pasca disyahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya Pasal 7 ayat (1) yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun baik bagi pria maupun wanita, harus menjadi keprihatinan semua pihak, dan menjadi bahan evaluasi semua pemangku kebijakan terkait. Sebab fenomena ini tidak sesuai harapan dan tujuan awal perubahan usia kawin.

AIPJ2 (Australia Indonesia Partnership For Justice 2) pernah melakukan penelitian tentang analisis putusan dispensasi perkawinan Tahun 2018 sejumlah 13.880 perkara diska. Hasil penelitian tersebut mengklasifikasi alasan permohonan diska menjadi 6 alasan, yaitu:

  1. Sebanyak 31 % karena anak perempuan sudah hamil;
  2. Sebanyak 25 % karena kedua anak sudah saling mencintai;
  3. Sebanyak 21 % karena anak berisiko melanggar nilai agama;
  4. Sebanyak 16 % karena anak sudah melakukan hubungan seksual;
  5. Sebanyak 8 % karena anak melanggar nilai sosial; dan
  6. Sebanyak 4 % karena berisiko berada dalam hubungan seksual.

Berdasarkan data tersebut, perkara diska yang diajukan ke pengadilan agama sebanyak 99 % perkara diska dikabulkan oleh hakim, dan 1 % ditolak.

Fenomena dikabulkannya diska di pengadilan agama tidak serta merta publik menyalahkan hakim pengadilan agama sebagai penyebab utama meningkatnya jumlah perkawinan anak. Persepsi dan anggapan tersebut tentu kurang tepat. Sebab bagi hakim ketika sudah menjalankan tugasnya yakni memeriksa dan mengadili perkara diska sesuai ketentuan hukum dan peraturan-peraturan yang berlaku, maka hakim harus dinilai melaksanakan tugasnya secara professional. Bahkan pasca diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 pada tanggal 15 Oktober 2019, Mahkamah Agung Republik Indonesia merespon dengan cepat, dengan membuat kebijakan berupa PERMA Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin, diundangkan pada tanggal 21 November 2019. (untuk selanjutnya disebut PERMA No. 5 Tahun 2019). Sebab Mahkamah Agung Republik Indonesia sangat menyadari potensi meningkatnya perkara diska di pengadilan pasca dinaikkan usia perkawinan.

PERMA No. 5 Tahun 2019 disamping menjadi pedoman bagi para hakim dalam mengadili perkara diska, juga sebagai bentuk nyata komitmen Mahkamah Agung dalam menjamin pencegahan perkawinan anak dan upaya perlindungan hak-hak anak agar berjalan efektif sesuai kewenangan Mahkamah Agung terkait penyelesaian perkara diska.

Isi PERMA No. 5 Tahun 2019 mengatur sejumlah pedoman hukum yang sangat berorientasi pada pencegahan perkawinan anak dan perlindungan hak-hak anak sebagaimana amanah Undang-Undang perkawinan tersebut. Pedoman hukum dalam perma tersebut juga menjadi bukti bahwa persepsi publik yang menjadikan hakim sebagai penyebab perkawinan anak adalah salah dan tidak tepat.

Diantara pedoman hukum dalam perma tersebut adalah ketentuan tentang pemeriksaan perkara, kewajiban penasihatan hakim dan pembuktian, serta hal-hal yang harus ada dalam pertimbangan hukum.

Perma tersebut harus dijadikan pedoman hakim dalam menangani perkara diska, dengan tujuan:

  • Menerapkan asas-asas dalam mengadili perkara permohonan diska;
  • Menjamin pelaksanaan sistem peradilan yang melindungi hak anak;
  • Meningkatkan tanggung jawab orang tua dalam rangka pencegahan perkawinan anak;
  • Mengidentifikasi ada atau tidaknya paksaan yang melatarbelakangi pengajuan permohonan diska;
  • Mewujudkan standarisasi proses mengadili permohonan diska. (Pasal 3 PERMA No. 5 Tahun 2019)

Hakim dalam memeriksa diska harus memperhatikan hal sebagai berikut:

  1. Pada hari sidang pertama, Pemohon wajib menghadirkan:

a. Anak yang dimintakan permohonan diska;

b. Calon suami/istri;

c. Orang tua/wali calon suami/istri.

  1. Dalam hal Pemohon tidak hadir, hakim menunda persidangan dan memanggil kembali Pemohon secara sah;
  2. Dalam hal Pemohon tidak hadir pada hari sidang kedua, permohonan diska dinyatakan gugur;
  3. Dalam hal Pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari sidang pertama, hakim menunda persidangan dan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan pihak-pihak tersebut;
  4. Dalam hal Pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari sidang kedua, hakim menunda persidangan dan memerintahkan Pemohon untuk menghadirkan pihak-pihak tersebut;
  5. Dalam hal Pemohon tidak dapat menghadirkan pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada hari sidang ketiga, permohonan diska tidak dapat diterima. (Pasal 10 PERMA No. 5 Tahun 2019).

Penasihatan hakim besifat imperatif, harus dilakukan dan bahkan jika hakim tidak memberikan penasehatan akan mengakibatkan penetapan dispensasi kawinnya menjadi batal demi hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 12 PERMA No. 5 Tahun 2019, yakni:

  1. Hakim dalam persidangan harus memberikan nasihat kepada pemohon, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon suami/Isteri.
  2. Nasihat yang disampaikan oleh hakim, untuk memastikan orang tua, anak, calon suami/isteri dan orang tua/wali calon suami/Isteri, agar memahami risiko perkawinan, terkait dengan :
    1. kemungkinan berhentinya pendidikan bagi anak;
    2. keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun;
    3. belum siapnya organ reproduksi anak;
    4. dampak ekonomi, sosial dan psikologis bagi anak; dan
    5. potensi perselisihan dan kekerasan dalam rumah tangga. Nasihat hakim tersebut dipertimbangkan dalam penetapan;
    6. Nasihat yang disampaikan hakim dipertimbangkan dalam penetapan;
    7. Dalam hal hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) mengakibatkan penetapan batal demi hukum;

Berdasarkan ketentuan tersebut, hakim harus mempertimbangkan nasihat yang telah disampaikan kepada pihak-pihak tersebut dan dipertimbangkan dalam penetapan dispensasi kawin. Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan ini maka akan mengakibatkan PENETAPAN BATAL DEMI HUKUM.

Dalam pemeriksaan perkara dan pembuktian, ada sejumlah pihak yang harus didengar keterangannya oleh hakim, hal ini diatur dalam Pasal 13 PERMA No. 5 Tahun 2019, yakni :

(1). Hakim harus mendengar keterangan:

  1. Anak yang dimintakan dispensasi kawin;
  2. Calon suami/istri yang dimintakan dispensasi kawin;
  3. Orang tua/wali anak yang dimohonkan dispensasi kawin; dan
  4. Orang tua/wali calon suami/istri

(2). Hakim harus mempertimbangkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penetapan;

(3). Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) mengakibatkan penetapan batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan tersebut hakim harus mempertimbangkan keterangan pihak-pihak tersebut dalam penetapan dispensasi kawin. Dalam hal hakim tidak melaksanakan ketentuan ini maka akan mengakibatkan PENETAPAN BATAL DEMI HUKUM.

Dalam pemeriksaan perkara permohonan dispensasi kawin, hakim harus memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak dengan memperhatikan hal-hal berikut:

ü  Menggali latar belakang dan alasan perkawinan anak;

ü  Menggali informasi terkait ada tidaknya halangan perkawinan;

ü  Menggali informasi terkait dengan pemahaman dan persetujuan anak untuk dikawinkan;

ü  Mempertimbangkan kondisi psikologis, sosiologis, budaya, pendidikan, kesehatan, ekonomi anak dan orang tua, berdasarkan rekomendasi dari Psikolog, Dokter/Bidan, Pekerja Sosial Profesional, Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD);

ü  Mempertimbangkan ada atau tidaknya unsur paksaan psikis, fisik, seksual dan/ atau ekonomi;

ü  Memastikan komitmen Orang Tua untuk ikut bertanggungjawab terkait masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan pendidikan Anak. (secara lengkap dapat dibaca dalam Pasal 16 PERMA No. 5 Tahun 2019.

Permohonan diska dikabulkan jika terbukti adanya alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup. (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019). Yang dimaksud dengan alasan sangat mendesak adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. (penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019) Sebagai parameternya dapat memedomani qoidah fiqh : “

درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya              :  “Menolak kerusakan harus diprioritaskan daripada menarik manfaat”;

Hakim dalam penetapan permohonan dispensasi kawin harus mempertimbangkan: mengenai perlindungan dan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) dengan memprioritaskan menolak kerusakan daripada menarik manfaat, baik didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun hukum tidak tertulis dalam bentuk nilai-nilai hukum, kearifan lokal, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan konvensi dan/atau perjanjian internasional terkait perlindungan anak. (Pasal 17 PERMA No. 5 Tahun 2019)

Semua keterangan dan alat bukti dalam pemeriksaan di persidangan harus dipertimbangkan secara teliti, cermat dan mendalam oleh hakim dalam pertimbangan hukumnya, sehingga pada akhirnya berkesimpulan bahwa “alasan sangat mendesak” sudah terpenuhi atau belum dan bukti-bukti pendukung dinilai cukup atau tidak, sebelum pada akhirnya hakim menetapkan akan mengabulkan atau menolak perkara diska. Alasan sangat mendesak adalah merupakan penilain subyektif hakim yang dikaitkan dengan fakta yang ditemukan dalam persidangan, dengan analisis menolak kerusakan lebih diprioritaskan daripada menarik manfaat. Hakim mempunyai kewenangan untuk menemukan hukum terhadap peristiwa konkret yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu melalui putusannya, hakim melakukan penemuan hukum.

Sekali lagi, ketika hakim sudah memedomani ketentuan-ketentuan yang berlaku, maka hakim harus dinilai melaksanakan tugasnya secara professional. Jika diska dikabulkan kemudian ada perkawinan anak maka pendapat dan persepsi yang menilai hakim sebagai penyebab utama terjadinya perkawinan anak tidaklah tepat. Tetapi, jika hakim yang memeriksa perkara diska tidak memedomani PERMA Nomor 5 Tahun 2019 dan tidak mempertimbangan secara cermat dan mendalam terkait “alasan sangat mendesak” dalam pertimbangan hukum, maka hakim tersebut patut dinilai tidak professional.

Mahkamah Agung telah merespon dengan cepat, tetapi persoalan perkawinan anak adalah persoalan kompleks dan terkait banyak pihak terutama pemerintah (eksekutif), komnas anak dan perempuan, LSM, MUI dan Ormas keagamaan serta tokoh-tokoh masyarakat. Untuk itu masalah perkawinan anak harus didekati dengan pendekatan yang holistik, bukan parsial.

Pemerintah seharusnya memberikan respon cepat dengan kebijakan yang komprehensif dan efektif untuk mencegah perkawinan anak. Juga melakukan sosialisasi secara massif dan membangun kesadaran hukum masyarakat akan dampak dan bahaya perkawinan anak.

Pemerintah (eksekutif) dalam hal ini adalah Kementrian Perempuan dan Pemberdayaan Anak, Kemenag, Kemendikbud, pemerintah provinsi dan kabupaten, kecamatan sampai pemerintah desa. Selama ini, pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun untuk pria dan wanita, belum ada kebijakan komprehensif dan upaya nyata sosialisasi secara massif dan efektif.

Komnas anak dan perempuan dan LSM yang bergerak dibidang anak dan perempuan juga harus ikut bertanggungjawab dan aktif melakukan gerakan sosialisasi dan pencerahan membangun kesadaran hukum masyarakat. Tidak hanya itu, MUI dan ormas keagamaan (NU, Muhammadiyah, dan lain-lain) serta tokoh-tokoh agama juga harus ikut serta aktif mengkampayekan bahaya perkawinan anak dengan melakukan reinterpretasi atas teks-teks agama agar lebih berorientasi pada pencegahan perkawinan anak.

Peningkatan kapasitas dan kompetensi hakim terkait PERMA No. 5 Tahun 2019 dan dampak perkawinan anak juga harus dilakukan oleh Mahkamah Agung. Penting diadakan diklat sertifikasi hakim spesialis diska sebagaimana sertifikasi hakim ekosyar. Hakim adalah pintu terakhir pencegahan perkawinan anak sehingga harus mempuyai pemahaman yang benar dan kemampuan yang mendalam tentang hal tersebut.

C. Kesimpulan

1. Hakim dalam memeriksa perkara permohonan dispensasi kawin harus memedomani PERMA No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin;

2. Alasan sangat mendesak merupakan kesimpulan hakim dari fakta di persidangan setelah dipertimbangkan secara mendalam, jika terpenuhi alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup maka permohonan dikabulkan, sebaliknya jika tidak memenuhi alasan sangat mendesak dan tidak didukung dengan bukti-bukti yang cukup maka harus ditolak;

D. Rekomendasi

Pemerintah seharusnya memberikan respon cepat dengan kebijakan yang komprehensif dan efektif untuk mencegah terjadinya perkawinan anak. Disamping itu Juga melakukan sosialisasi secara massif dan membangun kesadaran hukum masyarakat akan dampak dan bahaya perkawinan anak dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Hubungi Kami

Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

Jl. MT. Haryono No. 24 Samarinda

Prov. Kalimantan Timur

Telp: 0541-733337
Fax: 0541-746702

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

 

icons8 facebook old 48icons8 instagram 48icons8 youtube squared 48icons8 address 48icons8 whatsapp 48icons8 twitter 48