banner ptaa

 

Ditulis oleh Admin Kesekretariatan 1 on . Dilihat: 2517

DISPENSASI KAWIN SEBAGAI PERSIMPANGAN JALAN ANTARA MENCEGAH PERNIKAHAN ANAK DAN MENGHINDARI KEMUDLOROTAN

OLEH: Dr. Hj. Lailatul Arofah, M.H. * [1]

Salah satu strategi Allah dalam menjaga kebersinambungan kehidupan manusia di jagad raya ini adalah dengan menimbulkan rasa ketertarikan kepada lawan jenisnya serta rasa senang kepada anak-anak / keturunan. Selanjutnya agar naluriah manusia ini terkendali secara tertib dan teratur, maka Allah memberikan guidance, petunjuk dan ketentuan yang menjadi landasan kehidupan, baik di dalam Al-Qur’an maupun dalam Hadits antara lain:

Firman Allah dalam Surat Annur : 32

وَاَنْكِحُوا الْاَيَامٰى مِنْكُمْ وَالصّٰلِحِيْنَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَاِمَاۤىِٕكُمْۗ اِنْ يَّكُوْنُوْا فُقَرَاۤءَ يُغْنِهِمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۗ وَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui.”

Hadits :

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

Dan masih banyak lagi ayat al-Qur’an maupun Hadits yang mengatur tentang pernikahan. Bahkan Rosululloh SAW mengancam tidak akan diakui sebagai ummatnya, Barang siapa yang membenci / tidak suka dengan pernikahan, sebagaimana hadits yang sangat populer :

النكاح سنتي فمن رغب عن سنتي فليس مني

“Pernikahan itu adalah sunnahku dan barangsiapa yang membenci sunnahku, maka dia bukan ummatku/golonganku”

Menikahkan anak, merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua bahkan dapat dikatakan sebagai tugas puncak yang mengahiri berbagai tugas sebagai orang tua terhadap anaknya. Rosululloh SAW bersabda :

حقُّ الولد على والده أن يحسن اسمَه وادبه وان يعلمه الكتابة والسباحة والرماية وان لا يرزقه الا طيبا و ان يزوِّجَه إذا أدرَك

Menikahkan anak ini dalam kehidupan masyarakat menjadi tugas yang paling menjadi sorotan, semakin rendah tingkat Pendidikan dan kemampuan ekonomi masyarakat semakin tinggi keinginan orang tua untuk segera melepaskan tugas dan tanggung jawabnya sebagai orang tua dengan cara menikahkan anaknya, sehingga bisa dipastikan pada kondisi masyarakat semacam inilah pernikahan anak banyak terjadi. Bahkan ada sebagian masyarakat yang masih sering menyoroti keterlambatan pernikahan seorang perempuan dengan sebutan yang negatif, sehingga sebagian mereka justru lebih memilih menikahkan anaknya sesegera mungkin, walaupun pernikahannya mengalami kegagalan dari pada membiarkan anak perempuannya menjadi “perawan tua” artinya mereka berpandangan lebih baik anaknya menjadi “janda muda” dari pada menjadi “Perawan tua”.

Mengenai usia perkawinan pada dasarnya Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan, diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT dalam QS. An Nuur ayat 32 : Kata ṣaliḥīn dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Begitu pula dengan hadits Rasulullah SAW, yang menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya kemampuan.

Walaupun secara eksplisit tidak ada ketentuan hukum Islam yang memberi Batasan usia pernikahan secara numerik, namun dari berbagai dalil terkait pernikahan mengisyaratkan pentingnya kesiapan calon mempelai dalam memasuki pintu gerbang kehidupan rumah tangga.

Menjaga keberlangsungan keturunan ini termasuk maqasid Syariah yang menempati posisi primer. Urgensi inilah yang diharapkan mampu untuk dijaga bukan hanya dalam sisi keberlanjutannya, namun kualitas dari keturunan juga harus menjadi perhatian yang serius, Allah SWT telah mengingatkan kita dalam FrmanNya :

وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ فَلْيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلْيَقُوْلُوْا قَوْلًا سَدِيْدًا

Upaya mencegah terjadinya pernikahan anak merupakan tugas dan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat dan bangsa ini. Dalam Undang-Undang perlindungan anak Nomor 23 tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 pasal 26 ayat (1) huruf “c” disebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Upaya mengubah budaya sebagian masyarakat yang telah terbangun sebagaimana tersebut di atas tentu membutuhkan waktu yang relative lama dengan gerakan yang terstruktur, sistematis dan massif , hal mana upaya itu saat ini sedang berlangsung. Kegagalan upaya yang merupakan bagian “hulu” dari pernikahan anak ini akan mengakibatkan terjadinya lonjakan permohonan Dispensasi Nikah di Peradilan Agama. Dengan demikian Peradilan Agama sebagai lembaga yudikatif berada di posisi “hilir”.

Upaya pendewasaan usia pernikahan melalui Undang-Undang, dalam ini Mahkamah Konstitusi dengan putusannya nomor : 22/PUU-XV/2017 menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Karena itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan Pemerintah melakukan revisi UU Perkawinan paling lambat 3 tahun sejak putusan dibacakan.

Sebelum lewat batas waktu tiga tahun itu, DPR dan pemerintah sudah melahirkan UU Nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu materi muatan Undang-Undang adalah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi. Nah, revisi UU Perkawinan ini jelas dalam konteks melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi. Itu terbaca dari konsiderans dan bagian penjelasan umum.

Oleh karena Peradilan Agama berada di Posisi Hilir, maka area yang memungkinkan untuk meminimalisir pernikahan anak sangatlah sempit. Sepanjang masih ada aturan yang memperbolehkan warga negara / masyarakat untuk mengajukan permohonan Dispensasi Kawin, maka Pengadilan Agama tidak boleh menolak / tidak menerima pendaftaran perkara Dispensasi Kawin tersebut, sementara bila perkara telah diperiksa oleh Hakim, maka haram hukumnya dilakukan intervensi oleh siapapun, karena indenpendensi hakim harus ditegakkan.

Dalam area yang cukup sempit ini, Mahkamah Agung memberikan panduan agar hakim dapat tetap bergerak mengadili Dispensasi Kawin namun dalam bingkai upaya mencegah terjadinya pernikahan anak yakni dengan diberlakukannya Perma Nomor 5 Tahun 2019, hakim diikat dengan penerapan pasal 12 dan 13;

Dalam Pasal 12 diatur ketentuan:

  1. Hakim dalam persidangan harus memberikan nasihat kepada Pemohon, Anak, Calon suami / Istri dan Orang tua / Wali Calon suami/ Istri.
  2. Nasihat yang disampaikan oleh Hakim untuk memastikan orang tua, Anak, Calon Suami/Istri agar memahami resiko perkawinan terkait dengan :
  3. Kemungkinan berhentinya Pendidikan bagi anak
  4. Keberlanjutan anak dalam menempuh wajib belajar 12 tahun
  5. Belum siapnya organ reproduksi anak
  6. Dampak ekonomi, social dan psikologis bagi anak
  7. Potensi perselisihan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
    1. Nasihat yang disampaikan oleh Hakim dipertimbangkan dalam penetapan
    2. Dalam hal Hakim tidak memberikan nasihat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan penetapan batal demi hukum.

Dalam Pasal 13 diatur ketentuan :

  1. Hakim harus mendengar keterangan :
  2. Anak yang dimintakan Dispensasi Kawin
  3. Calon suami / istri yang dimintakan Dispensasi Kawin
  4. Orang tua / Wali Anak yang dimohonkan Dispensasi Kawin, dan
  5. Orang tua / Wali Calon suami/ istri
    1. Hakim harus mempertimbangkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam penetapan
    2. Dalam hal Hakim tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan penetapan batal demi hukum.

Namun dalam tataran praktek, apakah konsep yang ideal sebagaimana tersebut di atas efektif untuk seorang hakim yang menyidangkan perkara Dispensasi Kawin puluhan kasus dalam sehari? pertanyaan berikutnya bagaimana hakim menilai alasan yang mendesak untuk dapat dikabulkannya Dispensasi Kawin ? kali ini perkara Dispensasi Kawin menjadi dilema persimpangan jalan antara pencegahan pernikahan anak dengan alasan mendesak dikabukannya Dispensasi Kawin. Oleh karena itu dalam menakar alasan yang mendesak harus menggunakan alat pengukur yang sesuai dengan masing-masing kasus , harus ditimbang dengan cermat secara kasuistis dengan kaidah

إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما

“Apabila ada dua kemafsadatan , maka yang harus ditinggalkan adalah mafsadat yang mudhorotnya lebih besar dengan mengambil / memberlakukan yang mudhorotnya lebih ringan”

Jadi hakim harus menilai seorang anak yang masih di bawah umur            (dibawah usia 19 tahun) yang bisa jadi sedang hamil atau yang sudah sering berhubungan layaknya suami istri, atau yang sudah digrebek oleh keamanan lingkungan misalnya, bila ditolak permohonan Dispensasi Kawinnya bagaimana akibatnya? Dan bila dikabulkan apa efeknya? Sehingga kemudlorotan yang lebih besar itulah yang dijadikan panduan untuk menentukan alasan yang mendesak.

Persoalan yang juga harus menjadi perhatian adalah, jika hakim menolak permohonan Dispensasi Kawin, apakah bisa dipastikan bahwa pernikahan anak yang masih di bawah umur tersebut tidak dilangsungkan? Pada kenyataannya banyak diantara mereka tetap melangsungkan pernikahan walau tidak dicatatkan, sehingga substansi persoalan yang sebenarnya tetap tidak terselesaikan, bahkan berpotensi menimbulkan persoalan baru yang lebih rumit lagi. sehingga ada daerah yang angka Dispensasi Kawinnya rendah memiliki kecenderungan angka Itsbat Nikahnya tinggi.

Mengingat dilema hakim di persidangan dan keterbatasan waktu penasehatan di ruang sidang karena banyaknya perkara yang harus ditangani, maka barangkali alternatif upaya yang bisa dilakukan oleh Pengadilan dalam mencegah pernikahan anak adalah melakukan kegiatan konsling sebelum perkara Dispensasi Kawin di daftarkan, terutama untuk permohonan Dispensasi Kawin yang terindikasi tidak ada alasan yang mendesak, maka Pengadilan Agama bisa bekerjasama dengan Lembaga lain untuk melakukan konsling secara komprehensif dengan harapan setelah dilakukan konsling, permohonan Dispensasi Kawin tidak jadi diajukan dan pernikahan anak dapat terhindarkan.

Demikian secercah ide untuk dikembangkan dalam diskusi hukum, semoga bermanfaat, aamiin.

 


[1]   Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

Hubungi Kami

Pengadilan Tinggi Agama Samarinda

Jl. MT. Haryono No. 24 Samarinda

Prov. Kalimantan Timur

Telp: 0541-733337
Fax: 0541-746702

Email : Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

 

 

icons8 facebook old 48icons8 instagram 48icons8 youtube squared 48icons8 address 48icons8 whatsapp 48icons8 twitter 48